9.1.12

Pada Senyumnya

*Untuk bunda Y

Dinginnya paris van java membekukan otot-otot kami. Untung ada segelas teh hangat yang menemani gurau kami di sore yang sedikit mendung itu. Dan wanita itu pun mulai menceritakan sebagian bait-bait galau kisahnya semenjak menjanda.

Entah obrolan apa yang akhirnya menghantarkan kami mulai berbagi kisah hidup. Saya dengan kehidupan seperembad abad saya, dan beliau dengan kematangan hidupnya yang terpaksa harus sendiri membesarkan kedua jagoannya yang beranjak dewasa.

Matanya mulai berkaca menunjukkan betapa sesak dadanya menahan beban kesendirian. Namun senyumnya masih mengembang untuk saya, saya yang dikenalnya belum genap 24 jam.

3 tahun, lumayan lama. Tapi baginya pasti masih berasa kemarin. Apalagi lelaki itu cukup lama telah menemaninya. 17 tahunan mengarungi pernikahan dengan begitu banyak cerita terlalu berharga bukan? Sulit untuk diabaikan dalam hari-harinya sepanjang 3 tahun ini.

"Terkadang kalau teringat susahnya mengurus dua jagoan itu, ingin aku menyusulnya," katanya sambil menghela nafas.

Di luar, langit paris van java masih muram dan meneteskan titik-titik air. Hrggg dingin.

"Dia sakit. Hampir dua minggu dirawat di rumah sakit. Dan dokter pun hingga saat itu tiba tak mengetahui sebab musababnya." Kulihat sekilas ada yang berkilauan di bawah matanya.

"Tapi maut, rezeki, lahir, jodoh, bukan kuasa kita kan? Yah diterima saja." O owh, dia berusaha keras menenteramkan hatinya sendiri. Aku tersenyum, mengangguk.

Dan dia pun masih mengulas senyumnya seperti ketika pagi, siang, hingga sore ketika di luar sana langit paris van java masih juga muram dan meneteskan titik-titik air. Hrggg benar-benar dingin.(gn)

1 comment: