28.2.08

Quote Of The Day

DENGAN TERSENYUM DAN MENYENYUMKAN DUNIA SETIDAKNYA MEMBUAT HIDUP JAUH TERASA LEBIH RINGAN. (GN)

Fajar Meminta Fajar

Gambar dipinjam dari sini
Kulihat Fajar mendoa tekun di dalam gereja. Mendekap kitab lalu dibacanya. Ia menggauli keyakinan, mencari ketentraman. Setidaknya saat ini, detik ini, ketika istrinya bertaruh hidup untuk buah hati yang dikandungnya.

"Tuhan tolong perempuanku Tuhan. Kalaupun ada yang harus pergi, biar itu aku Tuhan," Fajar meminta sebuah keajaiban.

Ucapan dokter terngiang-ngiang di kepalanya."Kami akan berusaha Pak, tapi untuk bisa menyelamatkan dua-duanya adalah hal yang akan kami perjuangkan," ujar Dr. Pram tadi ketika beliau meminta Fajar meminta menandatangani surat izin operasi.

"Yesus, aku mohon selamatkan dua orang terkasih dalam hidupku!" Fajar kembali memohon, berlutut persis di depan altar.

Dua jam Fajar di dalam gereja. Kurasa sudah cukup. Aku harus mengajaknya untuk makan. Kuingat betul sedari pagi hingga sekarang belum ada makanan apapun yang dikonsumsinya. Setiap ditawari selalu menolak. Dia harus makan, setidaknya dua tiga sendok untuk kekuatannya sendiri.

Aku mulai melangkah masuk ke dalam gereja kecil yang memang masih berada di dalam kawasan rumah sakit. Sempat kudengar suara sesenggukan dengan suara berat. Kulihat Fajar berbaring menelungkup ke samping, persis di depan altar. Hatinya berat. Hatinya susah. Aku paham betul itu.

Aku menyentuh bahu Fajar," Jar..., yuk," aku membantu membangunkan Fajar! Kupapah tubuhnya menuju keluar dari kapel gereja.

=====================

Kulihat Fajar hanya memainkan sendok dan makanan yang ada di atas piringnya. Suasana kantin sedang sepi. Dan aku yakin pikiran Fajar sedang menerawang ke suatu tempat ke suatu masa.

Tiba-tiba dari pintu kantin muncul Budhe Lastri, adik dari mertua Fajar. Ia melambaikan tangannya ke arahku, meminta aku untuk menghampirinya. Kutengok Fajar, ia masih melamun dan memainkan sendok di tangan kanannya. Ia lurus memandang ke depan, pandangan kosong, entah melihat apa.

Aku bangkit meninggalkan kursiku, berjalan menuju Budhe Lastri.

"Inggih Budhe, ada apa?"
Budhe membisikkan sesuatu di telingaku. Aku terperangah sejenak, linglung!

Aku dan Budhe berbincang sesaat, 3 menitan. "Inggih Budhe," kata terakhirku sebelum Budhe berlalu pergi.

Aku berbalik, menuju kembali ke kursiku. Aku gontai, sedikit berat. Kulihat Fajar masih melamun kosong. Apa yang harus kukatakan? Dewi, istri Fajar, dan putri pertama mereka yang ada di dalam kandungan tak terselamatkan. Apa yang aku lakukan Tuhan? Apa yang harus aku katakan? Semeter lagi, aku sudah akan duduk kembali di kursiku. "Apa yang harus aku katakan Tuhan?" aku menarik nafas pelan. (gn)

24.2.08

Makanlah Buah Walau 'Seketek'!




Makan buah? 

Oh itu harus. Tapi seringkali kantong udah kadung cekak oleh kebutuhan makanan yang lebih pokok kaya nasi dan lauk. Jadinya, buah lebih seringkali menjadi konsumsi yang rada terbengkalai. Kata saya sih, hehe. Dan itu sebenarnya curhat colongan yang terjadi di kehidupan saya.

Sebagai masyarakat yang masih terpaku pada kebutuhan pokok, sajian buah menjadi konsumsi yang terhitung langka. Cuma pada momen-momen tertentu saja bisa menjadikannya hidangan yang akhirnya masuk mulut, huhu.

Nah saya pribadi selalu mencoba untuk mengingatkan diri saya, dan melakukan sesempat, sebisanya saya, untuk mengkonsumsi buah walau 'seketek' alias sedikit. 

Walaupun itu buah yang murah sekalipun. 
Walaupun itu cuma tomat hasil kebun sendiri (yang uda 
Walaupun itu hasil oleh-oleh tahlilan atau selamatan.
Walau itu beli di pasar gak ada sekilo.
Walau itu bisa dibilang bukan anggur, bukan apel, bukan pear.
Walau itu cuma GEDANG (red: pisang).
Walau itu cuma KATES (red: pepaya)
Walau itu cuma mangga (yang panen setahun sekali saja belum tentu, yang dapetnya gratisan dari poon depan rumah). 
Yang penting MANFAATNYA, kata saya.

Saya termasuk manusia yang kurang doyan sayur. Nah kalau kurang asupan buah juga? Gimana dunk? Hahaha, mungkin bisa mati muda. Huhu (oh no, jangan sampai :-p).

Karenanya, selalu ingetin diri, selalu curi-curi kesempatan, walau itu cuma 'seketek', MAKAN BUAH ITU PENTING. Dan bukankah makan buah emang penting? Walau kayanya lebih penting urusan negara dan rumah tangga ya? Hahaha, :-p (gn)

7.2.08

Kau Adalah....

Gambar dipinjam dari sini
Stigma dan hujaman kata-kata itu terus memburu. Bahkan ketika tidurpun.

......................

Tria menguap. Ia masih mengantuk. Tapi dia ingat, ia punya janji siang ini dengan tante Sofie. Bergeraklah ia menuju kamar mandi dengan malas. Dilihatnya masih ada antrian. Hidup sebagai anak kos memang mengharuskan beberapa hal utnuk berbagi. Dan ia butuh adaptasi untuk semua ini. Maklum, titel anak kos baru disandangnya 2 hari.

"Huaaa...," Tria menguap tanpa membungkam mulutnya. Membuat beberapa pria di depannya menoleh dan memperhatikannya dengan sedikit menunjukkan reaksi terganggu. Tapi Tria cuek, belum sadar penuh dari tidurnya rupanya.

Nah.., akhirnya tiba jugalah giliran Tria. Setengah jam mengantri, terkantuk-kantuk sambil berdiri, akhirnya bisa juga dia masuk untuk menyegarkan badannya yang alergi air hampir tiga hari. Selama tiga hari ini, sejak minggat dari rumah, ia hanya luntang-lantung, makan, tidur, makan dan tidur.

......................

"Siang Tria...," perempuan setengah baya berusia hampir 40 tahun itu berdiri dan menyapanya. Rupanya ia datang lebih dulu daripada Tria.

"Ya tante, siang!" Tria menjulurkan tangan untuk menjabat Sofie, "maaf tante Tria terlambat, sudah lama?"

Mereka berdua berbasa-basi sebentar lalu akhirnya menuju ke pokok pembicaraan.

"Konsultasinya di rumah saja ya Tria, keberatan?" tanya Sofie.

"Oh, enggak tante. Sekarang?"

Sofie mengangguk.

......................

Hampir 5 jam Tria berbaring di meja terapi. Ketika terbangun dari terapi hipnotis yang dilakukan Sofie, dirasakannya ada bekas air mata di bawah kelopak matanya.

"Saya menangis ya tante?" tanya Tria.

Sofie mengangguk. "Gak pa pa Tria. Gimana perasaannya sekarang?"

"Ada rasa sedikit lepas si tante. Gak beban banget kaya tadi pagi," jawab Tria.

"Mulai sekarang kalau ada apa-apa, ke tante aja. Ya?"

Tria mengangguk. Ia lalu mengikuti Sofie menuju meja kerjanya.

"Ini obat penenang. Kamu minum hanya kalau kamu merasa tidak mampu mengendalikan dirimu saja. Ya? Jangan terlalu menggantungkan pada ini. Kau bisa ke sini kan?" nasihat Sofie.

Tria mengangguk.

......................

"Kamu itu memang bodoh."

"Kamu itu memang gak becus."

"Kamu itu gak bisa apa-apa memang."

"Kamu malu-maluin."

"Kamu itu...."

"Kamu itu...."

"Kamu itu...."

Kata-kata itu terus bergema dalam otak Tria.  Sedari kecil ia berusaha mentasbihkan segala doktrin-doktrin itu. Hingga akhirnya sebulanan ini ia tak mampu lagi membendung kuasa hati dan otaknya. Kata-kata itu benar-benar meracuninya. Terus memburu, bahkan ketika tidurpun.

Segala yang ia buang jauh-jauh untuk dimasukkan ke dalam hati, menjadi penuh pertimbangan.

"Apa iya aku bodoh?"

"Hmm aku memang bodoh ya?"

"Apa iya aku gak becus?"

"Hmm aku ini memang gak becus emang ya?"

"Oh iya kali, aku memang enggak bisa apa-apa!"

"Hmm jadi aku ini emang gak bisa apa-apa ya?"

"Hmm iya bener, aku memang gak bisa apa-apa kali!"

"Hu uh, aku malu-maluin."

"Eh, apa aku malu-maluin?"

"Iya ya? Aku malu-maluin?"

"Uhh jadi aku begini...!

"Hmm aku begitu ya...?"

"Hu uh aku begini begitu!"

"Jadi begini dan begitu itu aku ya??"

"Jadi beginilah begitulah aku itu sesungguhnya."

"Mereka yang bilang!"

"Kata mereka aku itu adalah yang begini dan yang begitu."

"Jadi itulah aku."

Tria berbincang terus dengan dirinya. Stigma dan hujaman kata-kata itu terus memburu. Bahkan ketika ia tidur.

Sekarang, lima bulan setelah konsultasi pertamanya dengan Sofie, psikolog yang direkomendasikan kekasihnya, stigma dan hujaman kata-kata itu masih memburu. Bahkan ketika tidur. (gn)

*Ketika kau bilang anakmu cengeng, maka ia akan berpikir bahwa ia cengeng. Ketika kau bilang.....