7.2.08

Kau Adalah....

Gambar dipinjam dari sini
Stigma dan hujaman kata-kata itu terus memburu. Bahkan ketika tidurpun.

......................

Tria menguap. Ia masih mengantuk. Tapi dia ingat, ia punya janji siang ini dengan tante Sofie. Bergeraklah ia menuju kamar mandi dengan malas. Dilihatnya masih ada antrian. Hidup sebagai anak kos memang mengharuskan beberapa hal utnuk berbagi. Dan ia butuh adaptasi untuk semua ini. Maklum, titel anak kos baru disandangnya 2 hari.

"Huaaa...," Tria menguap tanpa membungkam mulutnya. Membuat beberapa pria di depannya menoleh dan memperhatikannya dengan sedikit menunjukkan reaksi terganggu. Tapi Tria cuek, belum sadar penuh dari tidurnya rupanya.

Nah.., akhirnya tiba jugalah giliran Tria. Setengah jam mengantri, terkantuk-kantuk sambil berdiri, akhirnya bisa juga dia masuk untuk menyegarkan badannya yang alergi air hampir tiga hari. Selama tiga hari ini, sejak minggat dari rumah, ia hanya luntang-lantung, makan, tidur, makan dan tidur.

......................

"Siang Tria...," perempuan setengah baya berusia hampir 40 tahun itu berdiri dan menyapanya. Rupanya ia datang lebih dulu daripada Tria.

"Ya tante, siang!" Tria menjulurkan tangan untuk menjabat Sofie, "maaf tante Tria terlambat, sudah lama?"

Mereka berdua berbasa-basi sebentar lalu akhirnya menuju ke pokok pembicaraan.

"Konsultasinya di rumah saja ya Tria, keberatan?" tanya Sofie.

"Oh, enggak tante. Sekarang?"

Sofie mengangguk.

......................

Hampir 5 jam Tria berbaring di meja terapi. Ketika terbangun dari terapi hipnotis yang dilakukan Sofie, dirasakannya ada bekas air mata di bawah kelopak matanya.

"Saya menangis ya tante?" tanya Tria.

Sofie mengangguk. "Gak pa pa Tria. Gimana perasaannya sekarang?"

"Ada rasa sedikit lepas si tante. Gak beban banget kaya tadi pagi," jawab Tria.

"Mulai sekarang kalau ada apa-apa, ke tante aja. Ya?"

Tria mengangguk. Ia lalu mengikuti Sofie menuju meja kerjanya.

"Ini obat penenang. Kamu minum hanya kalau kamu merasa tidak mampu mengendalikan dirimu saja. Ya? Jangan terlalu menggantungkan pada ini. Kau bisa ke sini kan?" nasihat Sofie.

Tria mengangguk.

......................

"Kamu itu memang bodoh."

"Kamu itu memang gak becus."

"Kamu itu gak bisa apa-apa memang."

"Kamu malu-maluin."

"Kamu itu...."

"Kamu itu...."

"Kamu itu...."

Kata-kata itu terus bergema dalam otak Tria.  Sedari kecil ia berusaha mentasbihkan segala doktrin-doktrin itu. Hingga akhirnya sebulanan ini ia tak mampu lagi membendung kuasa hati dan otaknya. Kata-kata itu benar-benar meracuninya. Terus memburu, bahkan ketika tidurpun.

Segala yang ia buang jauh-jauh untuk dimasukkan ke dalam hati, menjadi penuh pertimbangan.

"Apa iya aku bodoh?"

"Hmm aku memang bodoh ya?"

"Apa iya aku gak becus?"

"Hmm aku ini memang gak becus emang ya?"

"Oh iya kali, aku memang enggak bisa apa-apa!"

"Hmm jadi aku ini emang gak bisa apa-apa ya?"

"Hmm iya bener, aku memang gak bisa apa-apa kali!"

"Hu uh, aku malu-maluin."

"Eh, apa aku malu-maluin?"

"Iya ya? Aku malu-maluin?"

"Uhh jadi aku begini...!

"Hmm aku begitu ya...?"

"Hu uh aku begini begitu!"

"Jadi begini dan begitu itu aku ya??"

"Jadi beginilah begitulah aku itu sesungguhnya."

"Mereka yang bilang!"

"Kata mereka aku itu adalah yang begini dan yang begitu."

"Jadi itulah aku."

Tria berbincang terus dengan dirinya. Stigma dan hujaman kata-kata itu terus memburu. Bahkan ketika ia tidur.

Sekarang, lima bulan setelah konsultasi pertamanya dengan Sofie, psikolog yang direkomendasikan kekasihnya, stigma dan hujaman kata-kata itu masih memburu. Bahkan ketika tidur. (gn)

*Ketika kau bilang anakmu cengeng, maka ia akan berpikir bahwa ia cengeng. Ketika kau bilang.....

No comments:

Post a Comment