4.2.12

Cinta Harusnya Tak Tuli

Gambar dipinjam dari sini
Kutengok ke atas. Tampak bulan bulat dan benderang. Membawa aroma keromantisan tersendiri bagi kami malam ini. Raymond mendekapku erat di tengah semilir angin pantai bali. Butiran pasir menghangatkan kaki kami berpijak. Dunia indah, bagi kami, malam ini.

“Bun…, apa kata anak-anak di telpon tadi?”

Aku tersenyum, menoleh untuk bisa melihat saksama wajah Raymond. Kubelai rambutnya.

“Mereka bilang kita harus menikmati liburan ini,” kataku sembari menyunggingkan senyum cinta.

Raymond tertawa genit, dan malam pun menjadi milik kami berdua.

**************************

Kulihat tubuhku masih terbalut selimut hotel yang berwarna putih.
Aku tersenyum, masih mengingat kehangatan yang kulewatkan semalam.

“Rannn….., apa kau sudah bangun?” kudengar priaku memanggil dari pojok kamar.

“Hmmm…,” kujawab malas dengan berdehem.

“Tolong ambilkan handuk sayangg...”.

Aku bangun dari tempat tidur, membaluti tubuhku sebentar dengan selimut, lalu bergegas ke arah rak untuk mengambil handuk.

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk dengan keras dan gagang pintu dibuka paksa.

Aku masih antara sadar dan tak sadar, kulihat pintu kamar terbuka dan kulihat Raymond di sana, bersama petugas hotel.

“Raymondd…,” aku terlunglai tak mampu bicara.

Raymond menghampiriku, menatapku dengan mata benci, diam sesaat lalu berlalu ke arah kamar mandi.

**************************

Entah sudah berapa lama aku ada di ruang ini. Aku hanya bisa tertunduk dan menangis. Kulihat priaku hanya bisa meringis menahan sakit dan memar akibat pukulan Raymond.

Di hadapan kami, dua orang pria berseragam sibuk menginterogasi, menanyai ini dan itu, menguak hal-hal yang tak ingin kami bicarakan.

Sementara wartawan menunggu di luar, sibuk memotret dan berusaha mengambil gambar kami dari  balik jendela, kegirangan, mendapat topik menarik tentang perselingkuhan.

Kutengok sebentar ke arah belakang, kulihat Raymond menatapku dengan bengisnya. Aku tertunduk, tak tahu harus bagaimana. Hanya terbayang wajah Raisa, Rika dan Roni, buah hati kami berdua.

**************************

Kulihat tubuhku terbalut selimut hotel berwarna kuning.
Aku tersenyum, mengingat romantisme semalam.

“Rannn…..,” Raymond mengecupku lembut dan bergelayut mesra memeluk tubuhku.

“Hmm?” aku berdehem dan menatapnya.

“Aku mencintaimu” katanya.
Aku tersenyum, menatapnya dan kulihat ada binar penuh kasih di sana.


“Aku juga,” kataku.

Kami berciuman dan melanjutkan pagi dengan cinta.

**************************


Aku bangun, membaluti tubuhku sebentar dengan selimut lalu berjalan pelan ke arah jendela hotel. Kutoleh kebelakang, Raymond masih tertidur.

Ingatanku kembali ke tiga bulan yang lalu, saat Raymond memergokiku di kamar hotel dengan pria yang kukenal di bar. Stres memikirkan pertengkaran hebatku dengan Raymond  benar-benar membuatku kalap tak berpikir dan mengingat keluarga kala itu. Semua hanya gara-gara aku cemburu berlebihan pada Raymond.

Sebagai ibu rumah tangga yang hanya tinggal di rumah dan mengurus tiga anak usia SD, sedang Raymond pria berkarir yang punya pergaulan luas di luar rumah, terkadang memang membuatku berpikir macam-macam tentang Raymond. Namun semua dapat keredam, hingga saat itu ketika tanpa sengaja setelah mengantar anak-anak ke sekolah, kulihat Raymond di salah satu gerai mall bersama seorang wanita. Dan wanita itu adalah Astuti, sekretarisnya. Niatku untuk belanja bulanan akhirnya tertunda karena pikiran macam-macamku mendorongku untuk menguntit mereka.

Kulihat Raymond dan Astuti masuk ke sebuah toko perhiasan. Raymond memilih beberapa jenis perhiasan yang ada, lalu Astuti mencobanya. Mereka terlihat akrab, sambil sesekali bercanda. Mereka kemudian pergi ke gerai ritel baju yang lumayan ternama. Dan apa itu? Mereka menuju space baju malam dan memilih-milih beberapa. Pikiran macam-macamku, ketakmampuanku membendung prasangkaku, mengarahkan kakiku bergerak, bergerak ke arah Raymond dan Astuti. Aku berteriak-teriak kalap, entah umpatan dan kalimat kasar apa saja yang keteriakkan saat itu. Aku kesal, aku benci. Aku mengomel dan sempat menampar Raymond. Kupelototi Astuti dengan penuh kebencian, aku benar-benar benci pada calon istri adik Raymond itu. Tanpa berusaha mendengar penjelasan mereka, aku menepis semua omongan Raymond. Raymond memburuku. Tapi aku pergi.

Stres dan kecemburuan menghantarkanku ke tempat yang sudah tak kusambangi sejak aku kenal Raymond 12 tahun ini. Diskotik benar-benar hiburan yang kuanggap tepat. Dan di sanalah aku kenal pria itu, pria yang dalam semalam mendengarkan penuh seluruh keluh kesahku. Dan terjadilah hal yang tak patut aku lakukan itu. 

Aku kesal karena tak dihargai atas pengorbananku menjadi istri.
Aku kesal mendapat pengkhianatan yang tak pantas ini. 
Dan aku ingin melepaskan bebanku.

Dan ya Allah..., betapa aku ingin mengelus dada. Mengingat ketololanku ketika itu.

“Hmm…,” aku berdehem berat sambil memandang ke luar jendela. Melihat ke bawah dan dapat kudengar hiruk pikuk keramaian kolam renang tempat kami menginap. Kutengok sebentar ke belakang. Raymond masih tertidur.

Tanpa kusadari air mataku meleleh. Aku menangis. Ya Allah mengapa cemburu buta membuatku tak berpikir waktu itu. Ternyata Raymond hanya meminta bantuan Astuti. Meminta bantuan wanita yang sebulan lalu resmi jadi istri adik iparku untuk membantu memilihkan kado pernikahan kami. Pernikahan tahun ke sepuluh kami. Mengapa tak berusaha kudengar penjelasan Raymond ketika itu? Padahal aku sangat mengenalnya. Bahwa dia setia, bahwa dia penyayang keluarga.

“Rann…,” kudengor Raymond memanggil.
Lamunanku buyar dan aku menoleh.

“Sini…,” pinta Raymond.
Aku berjalan mendekat ke arah ranjang. Lalu duduk di samping Raymond berbaring.

“Maafkan aku dulu…, kesalahanku karena mengajak Astuti. Harusnya aku ajak ibu atau mama untuk membantuku memilih,” kata Raymond.

Kucium lembut bibir Raymond. Raymond membalas dengan kasih.

“Sudahh.., maafkan aku juga. Kesalahanku jauh lebih fatal,” kataku menyesal.

“Kita lupakan yaaa...,” tutur Raymond, “Aku mencintaimu”.
“Aku juga,” jawabku.

Dan siang itu pun berlanjut menjadi milik kami berdua. (gn)

No comments:

Post a Comment