10.12.11

Mengingat Mati

No body know kapan kematian akan datang menjemput. Seperti pepatah bijak yang tentu sering kita dengar bersama bahwa lahir, jodoh, rezeki dan maut adalah misteri yang Di Atas (Illahi). Tidak, saya tidak sedang membicarakan orang yang baru pergi. Tetapi saya ingin berbagi bagaimana saya diingatkan akan kematian dengan berziarah kubur. Ya, kemarin saya baru saja melakukan ziarah kubur. Dan tentang mati, terlintas kembali di otak saya.

Mati itu berarti kita akan kembali melebur dan menyatu dengan tanah. Diciptakan dari tanah dan kembali berdampingan bersama dalam satu area dan entahlah apa yang terjadi di sana, sesuatu yang pasti akan saya ketahui nanti ketika saya pada tahap 'usai' hidup di dunia.

Kemarin adalah hari jumat legi, yang mana menurut kepercayaan orang jawa merupakan hari yang dianggap sakral untuk mereka yang telah meninggal. Hari itu menurut penanggalan jawa juga dikeramatkan bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, ziarah dan haul. Saya sendiri, percaya enggak percaya juga si. Namun memang sudah jamak terjadi di lingkungan orang jawa bahwa menjelang jumat legi dan pada jumat legi makam ramai oleh pengunjung dan di pinggir jalan besar mudah ditemui penjual bunga dan wewangian untuk sarana berziarah.

Setelah membeli 10 bungkus kembang untuk dipakai berziarah, saya dan bapak saya bergegas untuk menuju ke area makam yang mana banyak famili dari garis bapak saya dimakamkan di sana. Begitu memasuki gerbang makam yang letaknya sedikit terpencil dari jalan besar ini, sudah tampak deretan motor dan mobil milik para peziarah yang mungkin juga mengunjungi makam familinya seperti kami.

Di gerbang masuk dekat pos yang menyimpan perlengkapan kematian seperti tandu dan payung, saya lihat banyak berjejer kembang-kembang di atas tanah. Bukan di atas pusara kubur, tetapi di pelataran tanah biasa. Usut punya usut ternyata itu adalah wujud cara berziarah bagi mereka yang telah kehilangan makam familinya di tempat tersebut. Kehilangan makam dikarenakan makamnya ikut tergali dan kini digantikan dengan makam yang lain. Yah, di sini memang sudah tak terhitung lagi berapa jumlah mereka yang telah dimakamkan. Tergolong area makam yang sudah berusia tua, jumlah luas area yang tetap (tidak bertambah) padahal jumlah penduduk yang tutup usia semakin meningkat, menyebabkan beberapa makam yang terlebih dahulu di sana dan tak terurus bahkan hilang tanda pusaranya menjadi tak sengaja ikut tergali untuk makam-makam baru.

Berpindah dari pusara makam satu ke pusara makam yang lain milik famili kami, kami mulai ritual berdoa dan menabur bunga. Hal yang sama juga tampak dilakukan oleh peziarah yang lain. Bahkan ada beberapa, tampak mata, memanfaatkan jumat legi ini untuk melakukan perbaikan di makam familinya seperti mencabut rumput ilalang yang tumbuh di atas pusara, mengganti batu nisan, bahkan membangun paseba di atas makam.

Sempat terlintas di otak saya untuk mengabadikan momen-momen yang ada di sana, namun urung karena sedikit merinding sendiri teringat seringkali terjadi di masyarakat bahwa kejadian mengambil gambar di area-area yang tabu memunculkan hal-hal yang mistik. Seperti ada sosok tak terduga di hasil jepretan, mengalami kejadian aneh seusainya, yah percaya tak percaya juga namun cukup bikin saya ciut nyali. Yah, lebih baik tidak melakukan apa-apa.

Gambar diambil dari sini

Miris sekali ketika saya saksikan di sana banyak sekali makam yang tak terurus. Entah memang makam lama (tua) yang mana garis keturunannya sudah habis, lupa atau apa. Apalagi makam-makam yang berderet di sana berhimpitan sangat dekat satu sama lain. Bisa saya bayangkan bagaimana bila ada galian baru yang ingin mengambil tempat di antaranya. Pasti bagaimanapun juga makam yang lama akan sedikit ikut tergali atau bahkan kalau nisan atau penandanya hilang bisa jadi akan tergali keseluruhan.

O ow, khawatir sekali bila itu terjadi pada famili saya yang dimakamkan di sana. Apalagi kata Bapak, pernah hampir juga salah satu makam famili kami ikut tergerus saat penggalian kuburan baru. Sehingga rasanya memang benar wanti-wati (red: nasihat) bapak, bahwa penting sekali garis keturunan mengetahui dimana famili-familinya dimakamkan walau itu garis yang sedikit jauh atau jauh. Kalau bukan keturunannya yang mengurus makam mereka yang telah tiada, siapa lagi?

Melihat apa yang ada di sana, terbayang di otak saya bahwa kematian sebenarnya sangat dekat dengan kita yang hidup. Merinding menyaksikan hamparan makam dan deretan batu nisan yang suatu saat sayalah yang ada di sana. Terbayang juga melihat bapak saya yang memang tergolong manula. Saya takut, saya takut sekali, saya belum siap kalau mungkin bapak saya pergi. Saya masih jauh dari 'bisa' membahagiakan beliau.  Apalagi dalam beberapa kesempatan bapak saya sering berujar suatu saat nanti ingin dimakamkan di tempat ini. Terbayanglah segala ketakutan tentang kematian ketika saya ada di sini.

Kemarin, terbersitlah dan tersentaklah saya untuk lebih menyayangi bapak juga ibu saya selama kami masih bisa bersama, lebih dari sebelum-sebelumnya. Dan berikrarlah saya untuk lebih menyayangi orang tua saya  bahwa saya harus menjadi anak yang berbakti baik ketika orang tua saya hidup maupun nanti ketika tiada. (gn)

No comments:

Post a Comment