16.11.11

Aku Tiara

Gambar diambil dari sini
Bahwa saya kehilangan diri saya?
Mungkin.

Tapi menurut saya tidak sepenuhnya.

Saya hanya menuruti naluri.

*******

"Sai...., sini le...!" terdengar suara ibu memanggil-manggil dari dapur.
Aku bergegas datang

"Tulung (red: tolong) le...," pinta ibu begitu melihatku.

Aku pun bergegas sigap membantu ibuku menguleni adonan kue yang ada di tatakan meja.

"Buk ini tar kalau sudah dicetak dihias dengan apa buk atasanya?" tanyaku setelah beberapa lama memainkan adonan tepung yang ada di hadapku. Kulihat ibu sedang memanaskan oven kesayangannya.

"Terserah kamu ae le (red: le = sebutan pada anak laki-laki)," jawab ibu pendek.

"Bener ya bu terserah Sai," sambut aku senang.

"Yaaa, kan kamu paling ahli le urusan kaya gini," kata ibuku mendekat lalu mengusap kepalaku pelan.

*******

"Le bapakmu dateng le, ayo ayo cepat sembunyi sana le," kata ibu sambil lekas-lekas membereskan perlengkapan yang ada di meja dapur.

Mengerti apa yang ibu maksud, aku langsung pergi lewat pintu belakang yang ada persis di dapur.

Aku akan berpura-pura dari suatu tempat dan muncul lewat pintu depan, seolah usai melakukan sesuatu di luaran rumah. Yah itu yang harus aku lakukan.

Semoga semua baik-baik saja. Semoga ibu sempat menyembunyikan segala sesuatunya terkait aktivitas yang tadi kami lakukan di dapur. Semoga sajah.

"Tenang Tiara, tenang. Slow down," ujarku menenangkan diriku sendiri sambil berjalan mengitari sawah menuju ke bagian depan perkampungan rumah tempatku tinggal selama 18 tahun usiaku.

******

"Gimana pak urusannya di kelurahan tadi?" tanya ibu sambil mengiringi bapak ke dalam kamar.

"Yahhh, masih ada yang harus dilengkapi bune dokumen-dokumennya," jawab bapak.

*******

"Assalamualakummm," aku membuka pintu rumah dan kulihat bapak sedang membaca koran di ruang keluarga.

"Walaikumsalaaammm," jawab bapak lalu aku beranjak untuk mencium tangannya.

Bapak amat memegang yang namanya tata krama. Segala hal yang kurang patut menurut beliau pasti bakal membuahkan celotehan seabrek. Dan saya sangat mengenal beliau.

"Loh Sai, pipimu kenapa tuh?" tanya bapak usai saya mencium tangannya. Bapak mengulurkan tangan memegang bagian wajah saya yang beliau maksud.

"Alamaaakkkk," jerit aku dari hati. Kulihat dengan benar dan aku yakin itu adalah noda ulenan kue yang aku buat tadi dengan ibu.

Kulihat muka ayah berubah, "kamu bikin kue lagi?" tanyanya dengan nada keras dan cukup menggelegarkan seisi ruang di rumah sempit kami.

Aku hanya diam. "Bodohnya aku," maki aku dalam hati.

*******

Kulihat ibu sedang menangis di pojok dapur.

Alat-alat dapur berserakan dimana-mana.
Oven yang tadi kami pakai untuk memanggang kue bolu penyok di beberapa sisi.
Mangkuk, cetakan kue beserta kue di dalamnya yang masih setengah matang, karena proses pemanggangan terpaksa dihentikan ketika ayah datang tadi, juga sudah tak berupa. Beberapa bagian adonan kue bahkan membercak di tembok dapur.

Kulihat ibu masih menangis. Beliau menyesal sepertinya karena mengiyakan permintaanku untuk membuat kue bersama. Ibuku hanya seorang ibu yang berusaha mengikuti bakat anaknya. Dia juga adalah ibu yang ingin melihat anaknya bahagia.

Kulihat ibu masih tersedu-sedu. Sedangkan aku tak berdaya setelah dipukul habis-habisan oleh bapak dengan menggunakan rotan. Kali ini lebih sakit, lebih sakit dari yang lalu-lalu. Pukulan bapak mungkin mencerminkan kekesalannya yang jauh lebih besar dari yang sudah-sudah. Ketika aku tidak berubah. Dari yang diketahuinya memasak sembunyi-sembunyi di dapur. Memakai riasan ibu diam-diam. Bahkan aku pernah terpergok memakai baju kondangan ibu pemberian ayah.

*******

Nama saya Saiful.
Namun entah saya merasa saya Tiara.

Tiara lebih cocok bagi jiwa saya.
Tiara lebih pas untuk jiwa seorang 'perempuan'. (gn)

No comments:

Post a Comment