23.3.09

Nasib Dokar Kian Terpinggirkan

BATU- Keberadaan kusir dokar di Kota Batu nyaris punah. Saat ini hanya terdapat 21 kusir yang bertahan. Sedangkan ratusan yang lainnya beralih profesi lain. Itu karena pekerjaan tersebut sangat tidak menjanjikan, sehingga penghasilan kusir berkurang. Selain itu, masyarakat lebih memilih mikrolet daripada dokar.

“Pada tahun 1980-an ada sekitar 256 kusir yang berasal dari 18 desa, tahun 2008 ini hanya tersisa 21 orang. Mereka yang saat ini bertahan sebagai kusir saja rata-rata sambil nyambi sebagai blantik,” terang Sunarto, penanggungjawab dokar di wilayah Batu kepada Malang Post kemarin.
Banyak hal menurut pria yang juga pegawai Dinas Pariwisata Kota Batu ini, yang menyebabkan nasib dokar kian terpinggirkan, antara lain, bertambahnya pilihan angkutan umum yang tersedia di batu dan meningkatknya kepemilikan kendaraan bermotor. “Ini menjadikan penghaslan kusir, pun merosot. Bule yang datang ke sini saja jarang yang mau naik dokar,” paparnya.
Sunarto menuturkan, dirinya bersama dengan seluruh anggota paguyuban dokar Kota Batu telah melakukan beberapa upaya guna mempertahankan kelestarian dokar. “Kita bekerja sama dengan pemerintah Kota Batu mengadakan pelatihan teknis bidang pariwisata, misalnya kusir diajari bagaimana berlaku sopan kepada penumpang,” tuturnya.
Dokar juga diberikan rute atau jalur bebas oleh pemerintah sehingga mampu menjangkau wilayah maupun kendaraan umum lain yang rutenya terbatas.
“Rencananya, pemerintah akan membuat model naik dokar dengan menggunakan kartu free pass, khususnya untuk anggota Dewan. Jadi kalau anggota Dewan mau naik dokar tinggal menunjukkan kartunya pada kusir, tetapi nanti tiap bulannya akan dipungut iuran dari kartu itu,” terangnya.
Sayangnya, menurut Sunarto, dari sekian banyak upaya yang dilakukan tidak lantas membuat nasib dokar membaik dalam artian memiliki kontribusi sebagai potensi wisata yang selayaknya dikembangkan.
“Nyatanya bisa dilihat perbandingan antara yang memperhatikan dengan yang tidak memperhatikan nasib dokar. Banyak yang tidak perhatian kan?” ungkapnya.
Karenanya wajar, bila jumlah kusir yang setia pada pekerjaan ini jumlahnya menurun, apalagi biaya perawatan dokar kuda tidaklah murah. Mengenai berkurangnya peminat dokar, hal ini dirasakan betul oleh Sadi Sutopo, kusir yang sudah mengabdikan diri dengan pekerjaan ini sejak tahun 1978. “Di zaman sekarang ini menjadi kusir itu serba kesulitan. Penghasilan tidak menentu. Ini karena masyarakat lebih berminat pada kendaraan berbahan baku bensin.” (gn/udi)
(Tulisan ini dimuat di koran harian Malang Post, Minggu, 13 Januari 2008, halaman 12.. Ditulis saat penulis menjadi wartawan magang di koran harian tersebut. Di edit oleh Mahmudi, Redaktur Malang Post)

No comments:

Post a Comment