23.3.09

“Unibraw Menuju Otonomi Kampus, Jangan Sekedar Konsep”

Dengan pendidikan diharapkan lahir sumber daya manusia yang pintar merasa bukan merasa pintar

Sebagai isu global yang juga dilakukan di banyak negara semisal Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jepang, Malaysia, Philipina, dan Thailand, otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dianggap sebagai sebuah respon terhadap perubahan zaman yang menghargai kebebasan dan demokrasi. Setelah melalui rentetan yang panjang, isu global ini akhirnya hinggap juga di ranah kampus Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang.
Berangkat dari rasionalisasi mempunyai visi dan misi menjadi universitas berskala internasional, Unibraw mengusulkan kepada pemerintah agar memiliki asas legal yang memungkinkan untuk melakukan perubahan organisasi dan manajemen
Bagaimana tidak, isu strategis ini sendiri tertuang dalam dokumen HELTS (Higher Education Term Strategy) 2003-2010 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional.
Proses Unibraw sebagai lembaga otonom tinggal menghitung waktu. Persiapan menuju otonomi kampus telah dilakukan dalam tahun 2006 hingga sekarang. Usulan proposal otonomi kampus pun juga sudah diselesaikan dan telah dikirim ke Dirjen Dikti untuk dilakukan penilaian.
Menurut pihak pengambil kebijakan, sistem manajemen yang dipakai dan implementasinya yang ada saat ini belum cukup efektif mendukung tercapainya visi dan misi. Sehingga perlu dikembangkan organisasi baru yang lebih efisien dan efektif.
Maka dari itulah, Unibraw yang saat ini merupakan unit layanan pemerintah yang bernaung dalam Departemen Pendidikan Nasional mengusulkan untuk mengubah status legal sebagai institusi pemerintah menjadi status institusi yang lebih independen yang tidak terlalu tergantung dengan Departemen Pendidikan Nasional.
Kalangan pengambil kebijakan optimis sukses menggandeng Unibraw sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dengan segala rencana dan strategi yang dibuatnya. Rektor Unibraw sendiri, Prof Dr Ir Yogi Sugito merupakan mantan ketua Tim Persiapan Unibraw menjadi BHMN.
Kontra datang dari kalangan mahasiswa terutama organisasi eksekutif dan legislatif yang notabene-nya berkaca pada kampus tetangga seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM) dan lainnya yang terlebih dahulu menyandang BHMN. Keinginan kuat datang dari mereka untuk mengawal adanya BHMN dengan ketat.
Dalam rancangan sasaran pengembangannya, Unibraw mentargetkan mampu melakukan pengembangan transformasi kelembagaan dan pemantapan daya saing untuk tingkat nasional tahun 2006 sampai 2010, tahun 2011 sampai 2015 pada pencapaian daya saing ASEAN, lima tahun berikutnya pada daya saing Asia, lalu tahun 2021 sampai 2025 pada tingkatan global.
Sistem 6 hari kerja menjadi 5 hari kerja terhitung 1 Januari 2007 terkait dengan Surat Keputusan Rektor Nomor: 186/SK/2006 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Rektor Nomor: 3404/J10/KP/2006 menjadi penanda pembenahan manajemen Unibraw.
”Tujuannya adalah menciptakan efisiensi dan efektivitas kerja”, terang Rektor, Yogi Sugito. Rektor pun menolak ketika keputusan ini dikait-kaitkan dengan proses Unibraw menuju BHMN.
Sejauh mana efisisensi dan efektivitas yang tercapai dengan program ini? Hingga saat ini belum ada transparansi laporannya dari pihak kampus. Padahal konsep otonomi Unibraw yakni berbasis pengelolaan organisasi yang efisien, efektif, produktif, transparan dan akuntabel.
”Bicara otonomi, bicara solusi untuk maju”, hal inilah yang pernah dikemukakan oleh Prof. Dr Anwar Arifin, pimpinan komisi X DPR RI dalam Seminar Pendidikan Indonesia di Surabaya September 2006 kemarin.
Sebagai Perguruan Tinggi, Unibraw memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan di tingkat lokal bertanggung jawab terhadap kelangsungan dan perkembangan potensi Malang Raya.
”Dahulu kita sering mendengar kritik dan kecaman terhadap dunia pendidikan tinggi didominasi isu pabrik pencetak sarjana pengangguran, dan tenaga yang siap pakai. Sekarang ini, kritik dan kecaman masyarakat bergeser tentang pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu dan mahalnya biaya pendidikan”, ungkap Prof. Dr. Ediwarman, SH. M. Hum. Guru Besar Fakultas Hukum USU dalam analisis yuridis-nya mengenai universitas BHMN beberapa waktu lalu.
Hal ini disadari betul oleh Unibraw dengan menelurkan sikap dasar dalam pengembangannya sebagai lembaga otonom yakni peduli terhadap permasalahan bangsa dan nasib kaum marginal. Terjaminkah harapan masyarakat nantinya?
Ada kecenderungan universitas BHMN meningkatkan pemasukan lewat kantong mahasiswa. Sebut saja UGM, yang memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) variabel (red: baca Rostrum Media Indonesia, 27 Maret 2007).
Dalam beberapa kali kesempatan di forum resmi ataupun dialog, Tim BHMN Unibraw meyakinkan bahwa pembebanan masalah keuangan tidak akan dipusatkan pada mahasiswa. Tetapi pada kemampuan mengelola aset secara mandiri.
Namun kondisi aspek keuangan Unibraw menuju otonomi masih belum termanajemeni dengan baik. Padahal otonomi sudah di hampir di depan mata. Misalnya sumber pendanaan dari profit center pusat atau lembaga, saat ini keadaannya belum terekam kontribusinya bagi core business.
Ataupun lahan-lahan yang dimiliki seperti tambak di Probolinggo, areal tanah di lampung, dan lahan perikanan di Sumberpasir yang belum termanfaatkan maksimal. Kalaupun yang terlihat memberi hasil yaitu dari hibah kompetensi sekalipun jumlah dari keseluruhan anggaran masih relatif kecil.
“Melihat evaluasi kondisi brawijaya sekarang saya pikir kita perbaiki dulu apa yang ada di dalam. Lebih kreatif mencari sumber-sumber dari dalam. Karena kalau sudah menjadi BHMN, subsidi akan dikurangi”, tutur Presiden Eksekutif Mahasiswa Unibraw, Dede Supardjo.
Konsep lain yang dipersiapkan oleh Unibraw dalam rencana strategisnya 2006-2010 adalah pengembangan sumber daya manusia. Perkembangan jumlah sumber daya seperti mahasiswa dan pengajar cukup meningkat secara signifkan dalam lima tahun terakhir. Hal ini tercatat dalam Laporan Tahunan Rektor Universitas Brawijaya tahun 2007.
”Sayangnya, jumlah beban kerja yang ada saat ini masih belum proporsional. Selain itu SDM di bidang akademik meskipun memiliki jumlah dan kualifikasi memadai namun tingkat produktivitas masih rendah dan kemampuan leadership di semua lini masih belum optimal,” kritik Arif, salah satu perwakilan organisasi intra kampus.
Ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi Unibraw. Apalagi Yogi Sugito, Rektor Unibraw, menfokuskan pada ouput menghasilkan lulusan yang berkompeten baik dalam ilmu maupun keprofesionalan bidang.
Program Job Placement Center yang digulirkan dengan harapan memudahkan lulusan dan mahasiswa dalam hal penempatan kerja juga tidak cukup bisa menyelesaikan masalah otoritas masa depan lulusan. Bahkan Unibraw merupakan pihak yang memberi supplay lumayan besar pada tingkat pengangguran berdasarkan keterangan Dikti.
Teknologi Informasi yang dimiliki saat ini-pun demikian. Sebagai universitas yang akan melangkah otonom dan menjawab tantangan global, Unibraw mestinya memiliki sistem informasi manajemen yang memadai. Kondisi sekarang, pengembangan manajemen informasi lambat, pemanfaatannya masih rendah dan belum merata. (gn)
(Diterbitkan oleh Harian Nasional Media Indonesia dalam halaman ROSTRUM rubrik Berita Utama, 10 April 2007)

No comments:

Post a Comment