23.8.08

Mahasiswa Ngebet Politik

“Miris! Kampus yang seharusnya menjadi pusat pencerahan peradaban bangsa akhir-akhir ini teredukasi legitimasi politis partai tertentu. Tidak hanya merambah organisasi ekstra kampus, organisasi intra kampus pun mulai dimasuki.”

Menggoda mahasiswa untuk memperkuat barisan partai, itulah mungkin alasan mengapa akhir-akhir ini beberapa partai politik mulai “menohokkan” barisannya merasuki kalangan kampus. Parahnya, sebagian aktivis mahasiswa ikut terbujuk masuk dalam pusaran badai politik praktis itu. Tentu dengan iming-iming agar cita-cita mereka memperbaiki bangsa dapat tersalur melalui partai bersangkutan atau mungkin sekadar jalan pintas yang memudahkan meretas karir politik setelah lulus nanti alias menambah link kerja.
Banyak kasus, muncul mahasiswa kader partai yang telah ditanam di organisasi ekstra mencalonkan diri sebagai ketua fakultas, jurusan, BEM atau organisasi lainnya. Jaringan inilah yang memperkuat keberadaan politik berkepentingan di tataran mahasiswa atau kampus. Konon menurut isu yang berkembang (bisa jadi merupakan fakta di lapangan) di sekretariat partai politik tertentu telah “dipeta-petakan” mana kampus yang telah dikuasai dan mana yang belum. Dengan “naluri politik” mereka menyusun strategi kampus mana lagi yang harus dikuasai, baik para mahasiswa maupun birokrasinya. Bahkan pihak berkepentingan itu tak tanggung-tanggung menawarkan keuntungan semisal memberi kemudahan dalam hal pendanaan, prioritas karir, dan semacamnya bagi yang bersedia menjadi kader.
Geliat masuknya politik praktis di kampus dapat dilihat secara nyata mulai dari keberadaan salah satu organisasi ekstra kampus yang sering sejalan dalam mengampanyekan isu yang sama dengan partai afiliasinya. Mereka pun antusias merebut kursi kepresidenan di level mahasiswa melalui organisasi intrakampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Melalui BEM inilah, mereka berupaya merapatkan diri dengan jajaran kampus, mengampanyekan jargon dan ideologi partainya serta melakukan kaderisasi terhadap sejumlah mahasiswa.
Kegiatan-kegiatan organisasi organisasi ekstra kampus (OMEK) pun entah mengapa makin leluasa melakukan aktivitasnya di dalam kampus. Semisal seminar, dialog, diskusi dan semacamnya dengan panitia, pemateri, juga peserta yang sebagian besar anak OMEK tentunya. Apa karena di sistem intern terdapat ”antek-anteknya”? Bagaimana bisa mereka berani masuk ”kandang orang” jika tak ada pihak dalam yang mendukung?
Jaringan mereka tampak rapi, tidak semua pihak bisa membacanya. Keluhan muncul dari mereka (mahasiswa) yang dalam hal ini pernah menjadi korban namun untungnya masih bertahan di jalur mahasiswa yang sebenarnya yakni tidak turun tangan dalam politik praktis.
Fenomena-fenomena riil ini tentu bertentangan dengan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia No: 26/DIKTI/Kep/2002 yang menyatakan bahwa organisasi ekstra kampus dan partai politik tidak boleh mendirikan sekretariat atau perwakilannya di dalam kampus atau melakukan politik praktis di lingkungan kampus.
Amat rentan ketika “faham-faham” partai politik tertentu mulai menjamah kampus, sedemikian rupa warna kampus pun ikut berubah. Terkadang dalam satu organisasi kemahasiswaan, orang-orang penting di dalamnya sebagian besar merupakan orang dalam satu “faham”. Ini tentunya menjadi racun bagi yang lainnya. Bagaimana tidak, dengan berbagai pendekatan intens yang mungkin sudah diajarkan oleh pembekingnya, ia bisa jadi mempengaruhi anggota-anggota lain.
Mungkinkah kehidupan mahasiswa yang terlalu idealistik dan penuh cita-cita merupakan penyebab minimnya skop ruang pemikiran? Bukan lagi kecemerlangan akademik dan penempaan intelektual yang diprioritaskan, tetapi tindakan-tindakan konyol memasrahkan diri bergelut dalam catur politik-lah yang diamalkan dalam status mereka yang masih menyandang predikat mahasiswa.
Bukan mengharamkan mahasiswa “ngebet politik”, konteksnyalah yang salah. Mahasiswa sah-sah saja berpolitik atau terjun langsung dalam kepartaian. Tetapi, itu boleh mereka lakukan setelah mereka resmi bukan lagi anak kampus. Mahasiswa memang boleh berpolitik karena mereka sebagai warga negara Indonesia memang punya hak politik. Tetapi naungan berpolitik itu sendiri tidak semestinya diatasnamakan mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan.
Realita sekarang, dipundak mahasiswa bergelayut tugas untuk berpartisipasi dalam merenovasi bangsa dan negara dari badai krisis ekonomi, sosial, politik, dan kredibilitas bangsa. Mahasiswa yang mestinya menjadi centre of excellence, bagaimana bisa main “lirik-lirikan” dengan partai. Dimanakah otoritas sejatinya mahasiswa berada? Mahasiswa harus sadar dengan posisinya dan selalu kritis. Jangan mau diombang-ambingkan oleh sistem yang ada. (gn)
(Diterbitkan oleh Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya dalam Koran Kampus Mimbar Mahasiswa Edisi 79 untuk rubrik Opini)

No comments:

Post a Comment