23.7.08

Ketika Mahasiswa Nongkrong Bukan Sekadar ‘Nongkrong’

Melepas kepanatan dari rutinitas tidak hanya dilakukan dengan tidur atau sekedar menonton TV, nongkrong, kini menjadi salah satu alternatif untuk sekadar menyegarkan pikiran. Fenomena nongkrong bahkan telah menjadi sebuah kebutuhan tersendiri bagi kebanyakan orang. Berbicara tentang nongkrong, hampir selalu dikaitkan dengan anak muda. Namun sayang, kegiatan ini masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, sehingga banyak diantara mereka yang men-cap kegiatan ini sebagai kegiatan yang sia-sia. Lantas bagaimana kegiatan ini dapat memberikan manfaat tersendiri bagi para ’anak nongkrong’?

Aktivitas nongkrong bisa menjadi sebuah keasyikan tersendiri bagi para pelakunya, tidak hanya terbatas pada tempat-tempat tertentu saja. Namun kini, kegiatan ini banyak dilakukan anak-anak muda, terutama mahasiswa di mana saja dimana mereka bisa berkumpul dengan komunitas mereka. Warung kopi dan tempat-tempat lesehan misalnya, kini telah menjadi jujugan yang asik untuk mereka berkumpul. Mereka bahkan mampu menghabiskan secangkir kopi selama berjam-jam ditempat mereka nongkrong. Sebut saja, Arif, Sugeng, Rusli, Hendra dan kawan-kawan, beberapa mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi di Malang ini memilih warung kopi dekat pasar dinoyo untuk menghabiskan waktu aktivitas nongkrongnya. Minum kopi, makan gorengan, plus diselingi obrolan-obrolan ringan dari gosip artis hingga obrolan serius seputar politik menjadi menu pilihan mereka untuk menghabiskan waktu disana.
“Setiap ada waktu senggang, kami pasti meluangkan diri untuk kumpul-kumpul di sini. Lumayan bisa menghilangkan stress dan penat dari urusan perkuliahan”, terang Rusli ketika ditanya seputar kebiasaan nongkrong yang ia dan kawan-kawannya lakukan. Bagi mereka nongkrong merupakan kegiatan wajib yang harus dilakukan jika tidak ada kegiatan. Dan untuk men-set agar nongkrong tidak terlalu membosankan, mereka menvariasinya dengan minum kopi dan diskusi-diskusi kecil.
Anak nongkrong lainnya, Mona, Mahasiswi semester akhir fakultas ekonomi Universitas Brawijaya ini juga merasakan manfaat tersendiri dari nongkrong yang dilakoninya. ”Gara-gara nongkrong saya bisa menambah penghasilan dan meningkatkan usaha”, terangnya. Baginya nongkrong boleh ia lakukan asal bisa memacu prestasi. Cewek yang diam-diam punya usaha laundry ini memanfaatkan aktivitas nongkrongnya untuk mempromosikan usaha. ”Lewat mulut ke mulut saya tawarkan usaha jasa laundry saya ini ke temen-temen nongkrong, dan alhamdulillah mereka tertarik dan akhirnya jadi pelanggan tetap saya”.
Tidak semua anak nongkrong menyatakan setuju dengan aktivitas satu ini. Cerita lain muncul dari Atok dan Nanda. Mahasiswa yang aktif menekuni bidang olahraga ini berbeda dengan yang lain mengaku sama sekali tidak menyukai lakon anak nongkrong. ”Saya pernah nongkrong, tetapi saya tidak merasakan manfaat lain selain cuma kumpul-kumpul saja sama teman”, begitu akunya. Nanda (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswi fakultas Perikanan Universitas Brawijaya bahkan mengaku bahwa dirinya pernah mempunyai pengalaman buruk sehubungan dengan aktivitas yang pernah dilaluinya sebagai anak nongkrong. Perempuan asli Jawa ini diajak oleh teman-temannya untuk nongkrong di sebuah diskotek. Berangkat dari coba-coba akhirnya Nanda kecanduan untuk nongkrong di tempat pusatnya dunia gemerlap itu. tidak hanya sampai disini, berawal dari tempat nongkrong favoritnya itu, keperawanannya telah direnggut oleh orang-orang yang menjebaknya, ”Hingga saat ini, saya masih sedih jika mengingat kejadian itu. Pelajaran bagi saya pribadi untuk selanjutnya lebih berhati-hati memilih aktivitas nongkrong terutama teman dan tempatnya”, cerita Nanda.
Tempat nongkrong pun semakin beragam
Semakin banyaknya mahasiswa yang menggemari kegiatan ini, mendorong semakin menjamurnya tempat-tempat nongkrong. Lihat saja, suasana Malang di malam hari, hampir sepanjang jalan dipenuhi dengan warung-warung lesehan yang biasa digunakan sebagai tempat nongkrong, begitu juga dengan cafe-cafe yang tersebar di Malang, hampir bisa dipastikan, cafe tersebut tidak pernah sepi oleh pengunjung yang rata-rata adalah mahasiswa.
Warung-warung yang ada di kawasan Payung Batu misalnya. Kawasan ini tidak pernah sepi akan pengunjung, terutama pada malam hari. Menurut para pemiliknya, mereka sebagian besar bahkan mengaku sengaja mengkonsep warung mereka sebagai tempat nongkrong. ”Sebagian besar pengunjung yang datang ke sini memang tujuannya untuk nongkrong. Terutama yang dari kalangan mahasiswa. Makanan yang disajikan di sini hanya sebagai pelengkap dari tongkrongan mereka”.
”Saya dan teman-teman suka nongkrong di sini, lokasinya asyik dan banyak pilihan”, cerita Ratih salah seorang pengunjung di Payung Batu. Senada dengan Ratih, Ridwan temannya menuturkan bahwa memang benar suasana yang pilihan yang ada merupakan faktor penting baginya untuk memilih tempat nongkrong. ”Selain di sini, saya juga suka nongkrong di mall, enak suasananya nyaman dan banayk pilihan”, ceritanya menambahkan. Tak pelak lagi, area nongkrong yang menyediakan kenyamanan adalah magnet kuat bagi si pelaku nongkrong tanpa mempedulikan lagi untung ruginya.
Fenomena Anak Nongkrong
Pada hakikatnya, perilaku setiap individu atau kelompoknya dimotivasi oleh kekuatan –kekuatan yang bekerja terhadap atau di dalam diri individu atau kelompok itu sendiri. Kekuatan-kekuatan tersebut mendorong untuk memenuhi kebutuhan yang paling kuat sesuai waktu, keadaan, dan pengalaman yang bersangkutan mengikuti suatu hirarki. Ketika kebutuhan fisiologis terpenuhi, konteks kebutuhan lain akan merangkak naik menuntut pemenuhan ke tingkat kebutuhan di atasnya. Halnya dengan nongkrong yang merupakan salah satu pemenuh kebutuhan sosial, mahasiswa tidak hanya berkutat dalam dunia akademisnya, namun juga aktualisasi mereka dalam kegiatan sosial.
Pada dasarnya juga dalam diri manusia melekat dua watak, yaitu makhluk sosial dan makhluk individu. Sebagai makhluk sosial, ia butuh berkumpul dengan orang lain. Di lain pihak, ia juga berperan dalam makhluk individu yang butuh hal-hal bersifat pribadi/privacy. Oleh sebab itu, kata nongkrong berasosiasi ketika fungsi makhluk sosial diaktifkan. Sementara itu, domisili mahasiswa di perkotaan menurut sosiolog Ferdinand Tonnies mengisyaratkan tipe gesselschaft (masyarakat modern dengan hub.impersonal) mampu dinetralisir oleh budaya nongkrong yang kental dengan semangat gemmeinschaft atau kekeluargaan.
Menurut seorang pakar psikologi yang sekarang asyik berkecimpung di dunia pendidikan, Ibu Yulianita S Ps, fenomena anak nongkrong sebenarnya merupakan ajang sosialisasi seseorang terhadap sekitarnya. Bisa benda mati juga benda hidup. Menurut beliau umumnya nongkrong ini terjadi dikarenakan adanya waktu luang yang dimiliki oleh seseorang sehingga memacu seseorang tersebut untuk melakukan suatu aktivitas baik sendiri maupun berkelompok. ”Dan yang pasti nongkrong biasanya dimotivasi karena pelakunya menginginkan konsep pergaulan yang lebih bersifat have fun dan memacu hilangnya penat atau stress”, terang beliau.
Ibu dari tiga anak ini juga menambahkan bahwa membingkai seluk beluk tongkrongan mahasiswa bukanlah hal yang mudah. Karena Beragam tujuan dan tempat menjadi sasaran dari aktivitas satu ini. Mindset yang menyamainya adalah ajang kumpul-kumpul dan mencari kesenangan. ”Pelaku nongkrong sebagian besar memang anak muda dan yang biasanya ditakutkan oleh orang-orang tua adalah bagaimana jika anak-anak mereka terjerumus dalam aktivitas nongkrong di tempat, tujuan dan dengan orang-orang yang salah. Ini tentunya bisa jadi pemicu dampak buruk bagi pelaku anak nongkrong itu sendiri”.
Dalam teori sosiogenesis disebutkan, terdapat dua hal yang melatarbelakangi pemilihan jenis perilaku yang mendorong atau menggerakkan, mendukung atau menghentikan perilaku seseorang. Dua hal penting yang dimaksudkan ini adalah psikologis dan sosiologis. Ketika sosiologis dan psikologis berimbang, maka pengaruh struktur deviatif, tekanan kelompok peranan sosial, dan internalisasi simbolis yang keliru yang disebabkan oleh gaya hidup nongkrong akan dapat ditekan dan diarahkan ke arah yang positif.
Nongkrong dan polemiknya
Aktivitas nongkrong sendiri selama ini sebenarnya masih menimbulkan perdebatan tersendiri di kalangan masyarakat. Ada yang men-cap positif terhadap aktivitas mahasiswa sebagai anak nongkrong namun ada juga yang men-cap bahwa nongkrong adalah kegiatan yang semata-mata hanya mencari kesenangan, sekedar kongkow-kongkow dan tidak mendatangkan manfaat bagi pelakunya. ”Menurut saya nongkrong seperti yang sering dilakukan oleh anak-anak muda itu benar-benar suatu kegiatan yang tidak ada gunanya. Coba mereka memanfaatkan waktunya untuk untuk belajar”, pendapat salah seorang ibu yang mengaku risih dengan aktivitas nongkrong mahasiswa-mahasiswa di depan rumahnya di kawasan Ketawanggede Malang. Pro dan kontra tak pelak memang sesuatu yang menghiasi keselarasan aktivitas nongkrong mahasiswa dengan perannya sebagai agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), kekuatan moral (moral force), cadangan potensial (iron stock), dan ukuran-ukuran romantisme lain dari masyarakat.
Dalam penjelasannya, Ibu Yulianita juga mengakui bahwasanya memang benar, fenomena anak nongkrong memiliki sindroma tersendiri di mata masyarakat. ”Ada yang fine-fine saja dengan perilaku ini tapi ada juga yang menakutkan bahwasanya nantinya akan terjadi pergeseran nilai dengan aktivitas nongkrong tersebut”, jelas beliau.
Simbolisasi pergeseran nilai sendiri menurut Prakosa dalam bukunya Psikologi Remaja sebenarnya adalah terjadi ketika masalah yang dianggap menyebabkan suatu nilai bergeser berada dalam kadar yang mampu menciptakan konflik di masyarakat. Konflik itu sendiri tidak selalu mempunyai konotasi negatif. Karena konflik juga punya kecenderungan untuk membuat suatu nilai menjadi lebih berharga.
Bagi Pak Kardi, pemilik warung kopi dekat pasar Dinoyo ini merasakan kenikmatan tersendiri dari gaya kumpul-kumpulnya mahasiswa-mahasiswa nongkrong di warungnya. Baginya, anak-anak nongkrong tersebut telah menjadi pelanggan setia dan memberi aura tersendiri di warungnya. Warungnya yang sebelumnya hanya sekedar menjadi tempat minum kopi, kini menjadi tempat base camp para aktivis yang mampu meningkatkan nilai jual dari warung yang dimilikinya. (gn, hry)
(Diterbitkan oleh Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya dalam Koran Kampus Mimbar Mahasiswa Edisi 78 untuk rubrik Laporan Khusus)

No comments:

Post a Comment