16.8.11

Membunuh Waktu

Gambar diambil dari sini
Roy Panggabean datang kemarin. Dia bertanya padaku, "Maukah kau menikah denganku?".

++++++++

"Serius loh San?" Rida memberondongku terus dengan pertanyaan-pertanyaan, "Lalu? Lalu? Gimana?".

Rida adalah sahabat baikku. Dia juga saksi naik turunnya hubunganku dengan Roy.

"Santyyy....," manja Rida padaku, "Jawab dunk ciiinnn".

"Belum," jawabku singkat.

"Hah? Belum? Belum apa?"  telisiknya sambil mengguncang-guncangkan bahuku.

Rida. Sahabatku sejak SMA ini memang pribadi yang unik.
Dia paling gampang penasaran.
Paling cerewet, lebih cerewet daripada ibuku.
Tapi sekaligus paling 'care' ke aku.

Yaahhh..., cuma Rida satu-satunya yang aku percaya untuk mendengar segala keluh kisahku setelah ayah dan ibuku meninggal dalam kecelakaan awal tahun lalu.

"Santyyy," tegur rida membuyarkan aku dari lamunan tentang sahabat baikku ini.

"Aku masih minta waktu."

"Apalagi Sann yang ditunggu? Pacaran sudah dari jaman SMA. Lihat, lihat! Lihat? Tuh tetangga kamu, Pipin, temen SMA kita juga. Anaknya tiga. Kamu mau menikah umur berapa? Umurmu tahun depan kepala tiga byukkk....,"

Dan entahlah Rida berucap apalagi, tahu-tahu ketika terbangun aku sudah berada di kasur dengan seprei putih ini, yang mana bau obat menyengat dimana-mana.

Obat? Yah.., obat yang sudah berhenti aku konsumsi hampir sebulan terakhir. Aku benci obat. Daann..., oh ya bagaimana aku bisa terdampar di sini? Di tempat yang paling membuatku merasa mati walau kematian sendiri belum menyapaku.

+++++++

"Santy sayanggg...," Rida membelai rambutku pelan sambil berdiri di samping dipan tempat aku tiduran.

"Daa..., jangan bilang Roy ya? Please...," pintaku.

Kulihat Rida menganggukkan kepala. Entah tulus atau terpaksa takut membuat aku mendebatnya dalam kondisi seperti ini.

"Sudah sudah...," ujarnya menenangkanku, "Sekarang yang penting jaga kesehatan ya? Obatnya jangan sampai tidak diminum lagi".

Aku diam tak menjawab. Rida masih membelai dan mengusap rambutku dengan kasih sayang seperti seorang kakak pada adiknya.

"Rida.., oh Rida. Maafkan aku menyembunyikan semua kenyataan ini darimu," kataku dalam hati. Kugenggam tangannya. Kulihat matanya nanar. Mungkin kasihan, iba, entahlah. Mungkin juga miris melihat nasibku. Nasib seseorang yang akan segera menjemput mautnya dalam waktu dua bulan mendatang.

++++++++

Hari ini hari pernikahan yang aku tunggu-tunggu. Tepat jam 9 pagi, Gereja Santo Paulo Belitung.

Aku tersenyum. Melihat lelakiku, Roy, tampak gagah di kejauhan.
Memakai tuxedo putih, seperti pangeran impian di dalam mimpi-mimpiku.

Dia datang. Dia datang.

Dia berjalan ke arahku. Menjemput pengantinnya.

Haruku tak bisa tertahan. Air mataku menetes. Aku bahagia.

+++++++

Rida dan Roy menemaniku di samping tempat tidur putih ini lagi. Hari ini tepat 1 minggu usai hari pernikahan. Sekaligus hampir 2 bulan seperti yang divonis oleh dokter.

Aku menarik nafas, menghela pelan-pelan sambil memegang erat tangan mereka berdua. Mereka orang-orang terpenting dalam hidupku. Dua orang yang selalu ada untukku.

Aku tersenyum. Mencoba menyuguhkan senyum selebar-lebarnya, semanis-manisnya. Aku bahagia.

Nafasku mulai tak beraturan. Rasanya sangat sesak. Sesak sampai ulu dadaku.

Kuminta Roy mencium kening Rida, mencium istri yang telah dinikahinya seminggu lalu.

Jiwaku serasa tertarik. Aku bahagia. Dan aku melayang akhirnya. (gn)

No comments:

Post a Comment