6.10.10

Putus di Asa

Gambar dipinjam dari sini
Entah kapan tepatnya pikiran ini muncul. Saya ingin Tuhan membunuh saya dengan caranya. Saya kehabisan pikir, saya kehabisan akal dan berharap akhir hidup menjadi jalan.

Semua ini gara-gara niat Rika meminta pisah. Ya, surat dari Pengadilan Agama Cibinong sudah sampai di tangan saya seminggu yang lalu. Saya digugat cerai oleh istri yang sudah saya nikahi hampir tiga tahun itu. Dan keinginan itu tiba-tiba saja muncul. Saya ingin Tuhan membunuh saya dengan caranya. Saya kehabisan pikir, saya kehabisan akal dan berharap akhir hidup menjadi jalan.

Masih terngiang dan terukir indah di kepala, ketika keluarga besar Rika menolak mentah keputusan saya untuk menyunting Rika sebagai istri ketika itu. Padahal kehamilan Rika tak bisa menunggu lagi. Hingga akhirnya bak cerita di film kami sepakat untuk kawin lari. Menjauh dari keluarga, menikah diam-diam dan hidup akhirnya bersama anak kami, Ronald.

Ronald adalah semangat saya. Semangat saya untuk kuat mengarungi bahtera rumah tangga yang memang sudah kacau balau sejak awal pernikahan lari kami. Keterbatasan ekonomi karena saya hanya bekerja sebagai kuli, membuat Rika sering marah-marah karena merasa kebahagiannya berbalik 360 derajat dari kehidupannya sebelum kami menikah.

Rika putri dari Bupati ternama, sedangkan saya? Hanya sopir pribadi Rika selama ia menjadi anak kuliahan di salah satu universitas ternama di Bandung. Entah karena terbiasa bersama-sama dimana sayalah orang yang paling rajin menemani Rika setiap harinya, atau karena ia memang merasa kurang perhatian dari kedua orang tuanya yang memang sibuk dengan kegiatan sosial dan politiknya, cinta itu tumbuh pada kami. Hingga malam yang dingin akhirnya menumbuhkan Ronald di rahim Rika.

Sekali lagi, Ronald adalah semangat saya. Dan saya? Saya sangat mencintai Rika. Walau saya tahu, sulit untuk saya untuk mewujudkan segala keinginan duniawinya. Tapi, saya sudah berusaha. Bekerja siang malam, jadi kuli, jadi babu, semua saya saya lakukan. Tak lain hanya untuk Rika dan Ronald.

Memang, dapat saya maklumi tak mudah bagi Rika menjalani kehidupannya yang tak lagi bergelimpangan materi. Karena itu saya diam, walau saya tahu diam-diam ia menjalin komunikasi kembali dengan ibunya dan meminta ibunya mengirimkan sejumlah uang. Saya hanya berpikiran positif, ini bagus untuk kembali menjalin silaturrahmi yang retak. Saya juga diam, walau saya tahu ibunya berusaha merayu Rika untuk meninggalkan saya. Saya tahu, Rika tidak akan meninggalkan saya. Itu setahun yang lalu.

Hingga, tiga bulan lalu saya memergoki Rika berduaan dengan Onci, pria lulusan luar negeri yang sejak dulu getol dijodohkan nenek Ronald pada Rika. Hingga, saya yakin hubungan mereka tak lagi hanya sekadar teman. Rupanya nenek Ronald sukses mendekatkan mereka selagi saya sibuk membanting tulang sebagai kuli dan babu.

Saya beranikan menegur Rika. Saya memintanya untuk menghentikan semuanya demi Ronald. Tapi Rika bilang, ini semua demi Ronald. Ya, ini semua demi Ronald, begitu kata Rika. Malah a lantang meminta cerai. Padahal walau harga diri terinjak, saya masih memaafkan Rika, karena saya mencintainya dan Ronald adalah semangat saya. Tapi Rika bergeming, ia bilang semua ini demi Ronald. Ia berucap lelah dan berteriak bahwa cinta saja tak cukup baginya dan bagi Ronald.

Saya ingin Tuhan membunuh saya dengan caranya. Saya kehabisan pikir, saya kehabisan akal dan berharap akhir hidup menjadi jalan.

Surat panggilan sidang pertama masih di genggaman saya. Berbagai upaya untuk merayu Rika sudah saya lakukan. Bahkan berlutut di kaki ibu dan ayah Rika.

Saya sangat kehabisan pikir, saya sangat kehabisan akal dan saya sungguh berharap akhir hidup menjadi jalan.

Saya ambil silet yang ada di pojok almari. Beberapa menit hening. Dan saya hanya sempat melihat kucuran darah mengalir dari sela-sela jari. (gn)

No comments:

Post a Comment