20.9.08

Program Wajib Belajar, Perguruan Tinggi Turut Terlibat

Dalam hidupnya, manusia membutuhkan pendidikan. Seluruh komponen bangsa pun wajib mencerdaskan kehidupan bangsa, yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.

Pendidikan merupakan salah satu pranata sosial yang penting bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang demokratis di Indonesia. “Ketika pranata pendidikan masih terlalu lemah, maka dengan sendirinya akan kurang membangun masyarakat belajar,” hal ini dikemukakan oleh Sunyoto Budiman, salah satu pemerhati pendidikan nasional yang juga membuka sebuah rumah baca di salah satu kawasan di Kota Malang.
Adapun yang dimaksud masyarakat belajar menurut beliau ditandai dengan besarnya perhatian dan partisipasi semua komponen masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai suatu gerakan rekonstruksi sosial. “Persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul, seperti disintegrasi sosial, konflik antaretnis, kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pola hidup konsumtif dan hedonistik seringkali tidak dapat segera ditangani secara tuntas. Akar permasalahannya pada dasarnya adalah minimnya pendidikan,” terang beliau.
Di Indonesia, masalah pendidikan memang sedang menjadi persoalan yang krusial terkait negara dituntut untuk mampu memberdayakan semua warga negaranya untuk berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan mau menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Menyadari hal tersebut, pemerintah memberlakukan demokratisasi pendidikan, yang mana merupakan upaya yang memungkinkan semua warga negara memperoleh layanan pendidikan. Salah satunya diaplikasikan oleh negara melalui program wajib belajar 9 tahun.
Kesempatan pendidikan
Sunyoto Budiman mengungkapkan, ada beberapa sebab yang menyebabkan terjadinya ketidakmerataan dalam memperoleh kesempatan pendidikan. “Hal ini biasa terjadi pada kelompok-kelompok masyarakat pedesaan dan keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan budaya. Dulu malah lebih parah, wanita adalah kaum minor dalam hal memperoleh pendidikan. Penyandang cacat juga”.
Lebih lanjut beliau menjelaskan persoalan seperti ini memberi pengaruh besar pada ketimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat. Dimana ada kelompok yang berstatus tinggi dan rendah, yang pada akhirnya menyebabkan kesenjangan sosial.
Bicara kesempatan pendidikan, hal ini terkait erat dengan bagaimana Indonesia mewujudkan manajemen pendidikan yang memberdayakan peran serta masyarakat, institusi, dan tenaga kependidikan secara demokratis dan efisien. Tantangan untuk meningkatkan efisiensi manajemen juga mencakup upaya mengintegrasikan semua jenis pendidikan dalam satu tatanan sistem pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa.
“Kerja sama dari segenap lapisan, diperlukan demi suksesnya pendidikan nasional,” tegas Sunyoto.
Program wajib belajar
Dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa, perbaikan kualitas sumber daya manusia Indonesia diawali dari program wajib belajar nasional di Indonesia. Saat ini, di Indonesia, pemerintah bertanggung jawab atas terselenggaranya program wajib belajar minimal hingga tingkat menengah pertama dan secara bertahap pada akhirnya hingga tingkat di atasnya. Dengan adanya program wajib belajar, diharapkan partisipasi pendidikan dapat ditingkatkan.
Seperti diketahui, membangun sektor pendidikan merupakan suatu proses yang dinamik sesuai dengan perubahan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Potensi peserta didik mencakup kemampuan fisik, kejiwaan, spiritual, intelektual, emosional, dan sosial pun harus ditumbuh-kembangkan melalui program dan kegiatan pendidikan nasional.
Sunyoto menerangkan, pendidikan sejatinya diselenggarakan untuk mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar peserta didik yang diperlukan untuk hidup secara berharkat dan bermartabat di masyarakat. “Oleh karena itulah penting kiranya pemerintah beserta segenap lapisan masyarakat mensukseskan prigram wajib belajar 9 tahun yang sudah dicanangkan pemerintah tersebut,” jelas Sunyoto.
Terkait program wajib belajar 9 tahun itu sendiri, di tahun 2007 Jawa Timur telah menerima penghargaan Widyakrama, sebuah penghargaan mengenai tuntas wajib belajar secara nasional dengan hasil perhitungannya adalah 95%.
Dengan prestasinya tersebut, Jatim khususnya dan Indonesia umumnya, terus dituntut secara terus-menerus meningkatkan kualitasnya melalui sebuah pembaruan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik (stakeholders). Ini penting agar sektor pendidikan mampu mempersiapkan generasi penerus yang memiliki unggulan kompetitif dalam tatanan kehidupan nasional maupun global.
Program Diknas
Sebagai salah satu usaha menyelesaikan sisa 5 % dari 95% yang berhasil ditorehkan Jawa timur dalam Wisyakrama, Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) menelurkan suatu program yang dilaksanakan pihak Perguruan Tinggi untuk menyukseskan program wajib belajar 9 tahun.
Tingkat wajib belajar yang masih rendah merupakan salah satu alasan bagi Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti) untuk mengadakan KKN Tematik yang mekanismenya dilimpahkan ke Diknas dan berujung ke Universitas.
“Fokus utama pengentasan wajib belajar 9 tahun di Jawa Timur dijalankan dengan ketentuan yang turun dari Dikti dan kebetulan Jawa Timur membutuhkan. Sebelumnya, program serupa sudah di aplikasikan oleh Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Diknas Jawa Timur,” ungkap Dr. Suharyono MA, Ketua pelaksana KKN tematik pendampingan wajib belajar 9 tahun.
Beliau menjelaskan, terkait program KKN tematik ini, terdapat sejumlah 19 kabupaten dengan 114 kecamatannya yang menjadi sasaran utama kegiatan. Antara lain Bojonegoro, Lamongan, Jombang,Nganjuk, Blitar, Madiun, Ponorogo, Pasuruan, Tulungagung, Probolinggo, Trenggalek, Bondowoso, Situbondo, Jember, Gresik, Mojokerto, Lumajang, Malang dan Kediri.
Pelaksanaannya sendiri berlangsung dengan melibatkan tenaga pendamping yang diambil dari alumni perguruan tinggi se-Jawa Timur, serta mahasiswa pelaksana KKN dan pejabat serta tokoh dan mayarakat setempat.
Unibraw sertakan 500 mahasiswanya
Perguruan tinggi yang notabene berkewajiban untuk turut membangun kehidupan masyarakat dan penggerak perubahan sosial dituntut merealisasikan apa yang sudah tertera dalam butir-butir Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Unibraw yang memiliki kewajiban didalamnya pun turut memberikan sumbangsihnya dalam bentuk pemikiran sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama kemampuan membaca dan pemberantasan buta aksara.
Unibraw mencari terobosan dalam mengembangkan model pengabdiannya kepada masyarakat, salah satunya dengan mengembangkan KKN secara tematik. “Mengingat Perguruan Tinggi mempunyai kepentingan untuk menentukan pemerataan tingkat pendidikan termasuk wajib belajar 9 tahun, Unibraw melibatkan diri dengan KKN tematik yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Nasional,” terang Dr. Suharyono MA yang hingga kini aktif di Lembaga Pengabdian Masyarakat Unibraw.
Menurut beliau, terdapat sejumlah 500-an mahasiswa Unibraw yang terlibat dalam KKN tematik yang berlangsung di bulan Agustus hingga September 2007 ini. Adapun mekanisme KKN itu sendiri dengan menyertakan pendamping dari alumni beberapa Perguruan Tinggi di Jawa Timur. Sosialisasi pendampingan itu sendiri dilakukan lewat internet.
“Pendamping di sini dirasa perlu mengingat perlunya suasana yang lebih intens dalam melakukan program ini. Pendamping-pun bertugas full timer dalam artian harus membuka jalan bagi mahasiswa yang KKN plus mengontak pejabat setempat, tokoh masyarakat kalau dosen ditakutkan akan menelantarkan pekerjaannya,” jelas Dr. Suharyono MA. (ufq, gn, hry)
(Diterbitkan oleh Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya dalam Koran Kampus Mimbar Mahasiswa Edisi 81 untuk rubrik Laporan Khusus)

No comments:

Post a Comment