23.11.08

Ketika Jurnalis Dipidana Karena Pemberitan

Pers memiliki banyak elemen yang membuat keberadaannya menjadi amat multi dimensional. Unsur pelaku (jurnalis) merupakan salah satunya. Karena dari kerja jurnalistik yang dilakukan oleh para jurnalis itulah muncul sebuah karya yang kemudian disebut dengan pers.

Pers idealnya menjadi mediator _rimin dan mampu menjembatani segala polarisasi yang beredar dalam ruang lingkup kehidupan manusia. Namun dalam banyak kasus di berbagai negara, _rimin kekuasaan banyak berpengaruh atas keberadan _rimin pers-nya. Dan tentunya Indonesia bukan termasuk negara yang terhindar dari kenyataan tersebut.
Sebagai negara hukum, adanya intervensi _rimin kekuasaan dalam kehidupan Pers di Indonesia adalah suatu hal yang dapat dipastikan. Karena tidaklah mungkin kehidupan suatu negara (termasuk yang berkaitan tentang pers) tidak diatur di dalamnya. Namun, sejatinya upaya menegakkan kebebasan pers tetap merupakan sebuah sikap yang konstitusional seperti dijamin dalam pasal 28 UUD 1945.
Fakta mencengangkan di tahun 2007, Risang Bima Wijaya, mantan General Manager harian Radar Jogja (Jawa Pos), dikenakan masa hukuman selama enam bulan atas tulisannya tentang dugaan pelecehan seksual oleh Dirut Kedaulatan Rakyat Soemadi M. Wonohito terhadap karyawan perempuannya.
Banyak aktivis pers yang menyebut bahwa kejadian dipidanakannya Risang Bima Wijaya ini adalah kasus pertama seorang wartawan dipenjara karena pemberitaan. Padahal, dimanapun di negara demokrasi, tidak dibenarkan jurnalis dipenjarakan kecuali karena jurnalis tersebut telah bertindak _riminal.
Yang disayangkan, mekanisme mengenai hak jawab dan hak koreksi kurang dimaksimalkan dalam penyelesaian kasus ini padahal Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers jelas-jelas mengatur hal tersebut. Dalam kasus ini, putusan pengadilan yang sudah sampai taraf Putusan Mahkamah Agung menggunakan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bukan UndangUndang Pers.
Kasus lain yang menyangkut dipidanakannya jurnalis karena pemberitaan adalah yang menimpa Bersihar Lubis. Penulis kolom ini dituntut delapan bulan penjara oleh Kejaksaan Negeri Depok karena menulis opini di Koran Tempo. Juga kasus yang menimpa Dahri Uhum Nasution, wartawan tabloid Oposisi Medan. Ia dikenakan hukuman penjara setahun karena tulisan yang ia tulis.
Majelis hakim juga pernah menjatuhkan satu tahun penjara terhadap Pimpinan Redaksi Tempo beberapa tahun yang lalu dan membebaskan dua wartawan Tempo meski dengan catatan bersalah. Hakim menggunakan Undang-Undang pokok pers untuk membebaskan dua wartawan Tempo, disisi yang lain majelis hakim tetap menggunakan pasal-pasal karet yang menyangkut pemyebaran berita bohong, fitnah dan pencemaran nama baik dari KUHP untuk memidanakan Pimpinan Redaksi Tempo.
Ada apa sebenarnya dengan kebebasan pers di Indonesia? Apakah pers di Indonesia sudah keblabasan ataukah hukum di negara yang mengaku negara hukum ini yang kurang berpihak pada kebebasan pers-nya?
Laporan organisasi wartawan internasional, Reporters Sand Frontieres, mengungkapkan bahwa dari 167 negara yang disurvei, pers di Indonesia duduk di peringkat 100. Artinya ada 67 negara yang persnya tidak bebas seperti Indonesia. Jadi, kalau bicara pers di Indonesia keblabasan, itu adalah suatu hal yang berlebihan.
Undang-Undang No 40/1999 tentang pers sendiri dinilai oleh kalangan pers sebagai undang-undang yang sudah bisa dikategorikan sebagai lex-specialist tetapi banyak kalangan hukum termasuk hakim sendiri menilai UU Pers adalah undang yang bersifat umum. Inilah mugkin yang menimbulkan adanya lubang hukum dalam perundang-undangan kita.
Pers di Indonesia yang pada tahun 2001 sempat dinyatakan sebagai pers terbebas di Asia oleh JWB (Journalists Without Borders), bagaimana mungkin bisa terkena putusan tindak pidana kembali setelah masa orde baru berakhir?
Bambang Harimurti – Pimpinan Redaksi Tempo harus dipidana oleh ketentuan yang bukan diatur oleh hukum pers kita. Adakah yang salah di sini? Pemidanaan delik pers sama saja dengan pembatasan kebebasan pers oleh penguasa. Bisa dikatakan sebagai pembredelan preventir. Artinya adanya ancaman pidana adalah penyensoran diri-sendiri (self-censorship).
Sistem hukum pidana yang mengenal pembedaan antara pelaku (dader), peserta-pelaku (mededader), dan pembantu-pelaku (medeplichtige), itulah yang seringkali dalam praktik pers berakibat dalam pembedaan antara penulis, redaktur, dan penerbit atau pencetak. Karena inilah sering kali banyak pelaku jurnalis yang tersangkut karena sebuah tulisan berita.
Merunut kembali ke Undang-Undang Pers No 40/1999, menurut hemat saya, tetap tidak adil ketika seorang jurnalis dikenakan pidana. Karena pers mengenal yang disebut dengan hak jawab dan hak koreksi.
Pasal 5 Undang-Undang pokok pers menyebutkan pers wajib melayani hak jawab ketika pihak-pihak tertentu atau masyarakat menderita kerugian akibat pemberitaan. Jika hal ini tidak diindahkan, pasal 18 ayat 2 Undang-Undang pers mengatur perusahaan pers akan dipidana dengan pidana denda Rp 500 juta. Jadi jalan penyelesaian kasus atas pemberitaan bukan dengan memenjarakan wartawannya.
Pada dasarnya penyelesaian kasus jurnalistik yang tidak dilakukan dengan pemahaman yang mendalam tentang profesi ini, hanya akan mengebiri fungsi dan peran jurnalis. Pengekangan terhadap pers sama artinya dengan selamat jalan demokrasi. (gn)
(Diterbitkan oleh Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya dalam Koran Kampus Mimbar Mahasiswa Edisi 82 untuk rubrik Essai)

No comments:

Post a Comment