20.9.08

Krisis Air Mengancam Malang Raya, Sumber Air Hilang 47,5%

Air merupakan sumber kehidupan. Airpun menjadi komoditas krusial ketika volumenya makin kritis.

Secara geografis Malang terletak pada ketinggian 440-667 mdpl dengan dikelilingi Gunung Arjuno di sebelah utara, Gunung Tengger di sebelah timur, Gunung Kawi di sebelah barat dan Gunung Kelud di sebelah Selatan. “Ditinjau dari letaknya, ini amat potensial bagi Malang Raya akan titik-titik sumber air,” hal ini dikemukakan oleh Arifin Hidayat, pengamat lingkungan yang juga mahasiswa program pascasarjana di Universitas Brawijaya.
Namun, bila diamati, jumlah sumber mata air dan pasokan air di Malang Raya semakin anjlok tiap tahun. Sementara kebutuhan air di tiap sektor baik rumah tangga maupun industri terus meningkat kuantitasnya.
Berdasarkan data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jawa Timur (Jatim), terdapat 4 titik sumber air sebagai sumber penghidupan masyarakat Jawa Timur yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, DAS Sapelan, DAS Madura, dan DAS Brantas. Untuk Malang Raya, sumber penghidupan air dipasok oleh DAS Brantas. DAS Brantas sendiri merupakan sungai yang diprioritaskan oleh sekitar 19,8 juta penduduk Jatim untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Survei yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim mencatat dalam sepuluh tahun terakhir yaitu rentang waktu tahun 1998 hingga 2007, terdapat tren pengurangan mata air di kawasan DAS Brantas. Dari sebelumnya 421 titik , kini tinggal 221 titik saja. Itu berarti 47,5% sumber air telah hilang. Titik-titik sumber air tersebut meliputi DAS Brantas, pegunungan Wilis, Arjuno, Kelud, Welirang, dan lereng Semeru bagian barat.
RTH minim
“Hal ini disebabkan karena banyak faktor. Antara lain pengelolaan kawasan hijau yang kurang maksimal,” analisis Arifin yang pernah tergabung dalam kelompok aktivis peduli lingkungan. Fakta di lapangan, kawasan hijau di Malang Raya semakin kritis. Padahal air sebagai sumber kehidupan semakin berkurang ketika kawasan hijau semakin sempit.
Dilansir oleh TEMPO Interaktif, tahun 2005 Walhi mencatat Ruang Terbuka Hijau (RTH) Malang hanya 4% dari luas kota Malang yang mencapai 110,06 kilometer persegi. Data dari Pemerintah Kota Malang saat itu malah lebih parah lagi, yaitu RTH tercatat hanya tersisa seluas 3.188 hektare atau sekitar 2, 89% dari luas wilayah keseluruhan.
“Dilihat dari perkembangan pembangunan fisik dari tahun 2005 dan sekarang 2007, bisa dipastikan RTH semakin sempit. Apalagi tidak diimbangi dengan peningkatan pengelolaan RTH,” terang Arifin Hidayat. “Ini jelas akan memperparah kondisi persediaan air di Malang khususnya”, tambahnya.
Saat ini RTH publik di Kota Malang adalah seluas 71,623 hektare berupa hutan kota, 2,8433 hektare berupa taman yang dikelola masyarakat dan 14,1198 hektare berupa jalur hijau yang dikelola dinas pertamananan (sumber: Bapeko Kota Malang). Ini jelas tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 63/2002 yang mana menggariskan bahwa luas RTH itu minimal 10% dari luas wilayah masing-masing kabupaten/kota.
Foto satelit pada 1997 dan 2002 juga memberikan gambaran riil berkurangnya RTH. Tahun 1997, kawasan hulu Brantas yang merupakan RTH masih tampak hijau dan jarang terdapat titik merah atau coklat yang menandakan adanya alih fungsi menjadi lahan pertanian. Sebaliknya, tahun 2002, foto satelit menunjukkan peningkatan jumlah titik cokelat dan merah yang menandakan adanya pertambahan lahan hutan yang telah berubah fungsi.
Dari hitungan luasan yang dilakukan Perusahaan Jasa Tirta (PJT I) pada tahun 2004 lalu, luas hutan di bagian hulu Brantas juga berkurang sekitar 33%. Dari sebelumnya seluas 92.04 kilometer persegi hanya tinggal 61.38 kilometer persegi (Sumber: Jawa Pos, Radar Malang).
“Berkurangnya RTH bisa membuat persediaan air untuk irigasi dan kegiatan sosial masyarakat berkurang. Bila tidak ditangani segera, dikhawatirkan kebutuhan masyarakat akan sumber daya air terancam,” cemas Arifin.
Eksploitasi air
Krisis air juga disebabkan adanya eksploitasi air yang tidak terkendali. Sebagaimana yang dilansir oleh Jawa Pos Radar Malang, Walhi mengantongi data yang menunjukkan bahwa selama dua tahun terakhir terjadi lonjakan eksploitasi air untuk komersial dari 10 perusahaan menjadi lebih dari 50 perusahaan se-Jatim. Ekploitasi yang dimaksud adalah penggunaan air bawah tanah untuk kepentingan air minum kemasan
“Kondisi riil di lapangan bisa lebih dari itu. Apalagi mengingat saat ini berjamur perusahaan air minum dimana-mana baik yang skala kecil hingga besar,” ungkap Arifin. Eksploitasi air, lanjut Arifin, bila tidak segera ditangani secara selektif oleh pemerintah daerah terkait nantinya bisa berpengaruh mengurangi debit air di sekitarnya. “Kalau air susah didapat, ini bencana buat kita. Karena itu lebih baik menjaga serta mengelola keberadaannya agar persediaannya tetap menjamin demi jangka panjang,” tandasnya.
Sejalan dengan semangat otonomi daerah maka pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dituntut mampu merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan pendayagunaan sumberdaya alam dalam hal ini air (khususnya DAS), melalui penerapan tiga kriteria pemanfaatan, yaitu : efisien, adil dan berkelanjutan. Diperlukan pula suatu sistem pengambilan keputusan dan sistem kontrol yang partisipatif, melalui peran serta para pemangku kepentingan. (gn)
(Diterbitkan oleh Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya dalam Koran Kampus Mimbar Mahasiswa Edisi 81 untuk rubrik Laporan Utama)

No comments:

Post a Comment