23.6.08

Nongkrong, Tipologi Gaya Hidup Mahasiswa dengan Notabene Baikkah?

“NONGKRONG”. Fenomena ini sadar atau tidak sadar sudah menggejala bahkan membudaya dalam kehidupan remaja khususnya mahasiswa. Secara psikologis, memang benar mahasiswa juga mempunyai kebutuhan untuk bersama-sama dengan teman sebayanya dan mengekspresikan diri dalam rangka mencari identitas diri. Namun bisa menjadi jaminankah aktivitas nongkrong yang mereka lakukan bisa memberi output yang positif dalam kehidupan mereka sehari-hari? Atau jangan-jangan mereka punya “sense of self” takut dikatakan tidak gaul?

Sebagai suatu kebiasaan sosial, nongkrong sebenarnya merupakan kebutuhan rohani dan mental bagi setiap orang, tidak hanya mahasiswa, untuk mendapat sesuatu bagi dirinya secara kejiwaan (sosialisasi). Dalam konteks pergaulan sosial pun, nongkrong bukanlah sekedar kata, melainkan sudah menjadi semacam istilah yang ruang lingkupnya menyentuh perilaku hidup remaja terutama kalangan mahasiswa. Tapi apa yang terjadi jika aktivitas ini akhirnya malah menimbulkan suatu penyakit baru yang disebut kecanduan nongkrong? Memang istilah ini bukan istilah yang umum didengar, tapi kita harus selalu ingat jika sesuatu sudah menimbulkan yang namanya candu (ketergantungan) bagi pelakunya, ini bisa berakibat ke sesuatu yang buruk bagi pelaku itu sendiri. Segala hal yang dilakukannya bisa-bisa melebihi kadar yang wajar dalam arti berlebihan.
Sudah menjadi paradigma umum, mahasiswa adalah intelektual muda yang harusnya lekat dengan aktivitas belajar dan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan otak dan daya nalar. Namun tidak bisa dipersalahkan juga jika mahasiswa sesekali melakukan aktivitas nongkrong atau semacamnya. Yang penting ada suatu hasil positif yang bisa mereka dapatkan dari nongkrong tersebut. Kewajiban utama dari peran mereka sebagai mahasiswa pun jangan sampai terlupakan.
Sayangnya, stigma dari nongkrong itu sendirilah yang sampai saat ini masih mendapat cap negatif dari sebagian besar masyarakat. Banyak yang menganggap nongkrong itu hanyalah aktivitas sia-sia belaka. Cuma menghabiskan waktu dan sekedar berkumpul dengan teman tanpa tujuan dan manfaat yang jelas.
Memang, pada dasarnya nongkrong itu sendiri dilakukan dalam rangka mencari kesenangan, meluapkan kesedihan, dengan teman bisa kongkow-kongkow, main cela-celaan sampai ketawa, tidak ada batasan dan bisa lepas mengungkapkan perasaan yang ada. Namun jika kita kaji dengan seksama, sebenarnya banyak sekali manfaat yang bisa kita peroleh dengan melakukan aktivitas nongkrong. Mulai menambah wawasan, menambah ilmu dan memperluas cakrawala, dapat melakukan pertukaran informasi dengan cepat, memperluas pergaulan, pencurahan ide (brainstorming), dan sebagainya. Hanya, ada hal yang harus sangat diperhatikan jika manfaat-manfaat seperti ini ingin diperoleh. Pelaku aktivitas nongkrong haruslah mampu menguasai emosi dan mengendalikan diri dalam artian harus mam[pu mengontrol apabila pada saat nongkrong akan menjurus ke hal-hal yang negatif. Kemampuan untuk memilih teman yang baik untuk nongkrong pun amat disarankan.
Bicara tentang mahasiswa gaul, sebenarnya nongkrong bukanlah patokan yang bisa dijadikan ukuran untuk menyebut apakah seseorang itu gaul atau tidak. Pengertian mahasiswa gaul sendiri adalah mahasiswa yang bisa bersosialisasi, punya kepekaan sosial tinggi terhadap orang lain, solidaritas serta relasi yang kuat. Memang, dengan nongkrong manfaat-manfaat seperti itu bisa diperoleh. Tetapi dengan cara yang lain pun kita juga bisa melakukannya.
Parahnya, banyak mahasiswa yang menganggap bahwa nongkrong adalah keharusan bagi mereka. “Sehari dalam seminggu aja tidak nongkrong, fyuh dunia terasa seperti kiamat. Gak gaul boo…, gak gaul…!”. Seloroh semacam itulah yang sering kita dengar dalam perbincangan kalangan mahasiswa seputar penting tidaknya nongkrong. Akhirnya, berkembanglah suatu opini yang salah akan keharusan untuk nongkrong. Takut dikatakan tidak gaul-lah, takut dibilang kuper, orang rumahan, dan sebagainya.
Sebenarnya, penilaian gaul tidaknya kita dengan nongkrong sifatnya amat relatif. Tergantung pada siapa kita menanyakan hal tersebut. Toh, pada akhirnya nongkrong tidaknya kita, bermanfaat tidaknya aktivitas nongkrong yang kita lakukan akan berpulang pada diri kita sendiri. Semua tergantung dari niat karena niat yang baik dan lurus akan membimbing kita untuk bertindak baik pula. Harapannya, pada gilirannya nongkrong tidak sia-sia tetapi dapat membawa manfaat bagi remaja dan tidak merugikan orang lain.
Pertanyaannya sekarang, sudah siapkah kita untuk nongkrong dengan baik? (gn)
(Diterbitkan oleh Unit Aktivitas Pers Kampus Universitas Brawijaya dalam Koran Kampus Mimbar Mahasiswa Edisi 77 untuk rubrik opini)

1 comment:

  1. maaf mengganggu saya hanya ingin berbagi artikel yang berkaitan tentang gaya hidup mahasiswa
    berikut linknya :
    http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3478/1/JURNAL_2.pdf
    semoga bermanfaat :)

    ReplyDelete