16.3.12

Tua dan Cerita

Gambar dipinjam dari sini

Bibirnya fasih merangkai kata dan menceritakan kisah-kisah klasik hidupnya yang lalu dan telah usai. Uban dan kerut tak menghalangi memorinya untuk berbagi kisah kepada generasinya. Jangan tanya apakah saya jenuh mendengarnya. Huumh, iya saya tak mengelak, saya memang sempat jenuh mendengar ceritanya yang ‘itu’, ‘itu’ dan ‘itu’. Yang sudah pernah saya dengar, yang sudah pernah diceritakannya (beberapa kali).

Tiga hari ini, hari-hari saya sebagian berisi dengan tutur-tuturnya. Kebanggaannya pada hidup, dan inginnya ia agar kami (anak, menantu dan cucunya) belajar dari bagian-bagian penting perjalanan nafasnya. Ia datang, tiba-tiba tanpa undangan, tanpa pemberitahuannya pada kami. Surprize, setelah kurang lebih dua tahunan ia tak berkunjung menginap di rumah kami. Renta dan usia membuat fisiknya terbatas. Apalagi jarak rumahnya dan kediaman kami, tentu menjadi pertimbangan. Beberapa kali kami sempat mengajak dan menjemputnya untuk hadir meramaikan rumah kami, tapi ia menolak. Katanya, ia ‘sakit’. Dan memang sakit adalah temannya sepanjang 20 tahunan ini. Dan kali ini, ia sungguh (memang) mengejutkan kami.

Jadilah tiga hari ini bangun dan tidur saya sedikit berisi petuah dan cerita hidupnya. 85 tahun adalah waktu yang lama, berbagai kisah manis pahit menjadi hal yang sudah dilewatinya. Dan itu juga menjadi cerita yang panjang bagi saya untuk mendengarkannya. Jenuh, walau ‘itu’, ‘itu’ dan itu lagi. Tapi kami menghormatinya. Dan saya sangat menyayanginya. Jujur, saya rindu kebersamaan seperti ini, kebersamaan yang sedikit langka dimana saya bisa tidur di sampingnya, dan menggaggunya dengan gaya tidur saya yang memang sedikit ‘tak biasa’ baginya. Dan tentu, cerewet dan cerita-ceritanya. Walau sudah senja, memorinya memang masih nyata, masih ada dan selalu dibaginya untuk saya, cucunya.

Tiba-tiba saya tersadar (kembali), bahwa ketika tua hal yang paling berharga memanglah adalah kenangan. Bahkan kenangan adalah kebanggaan hidup bagi mereka yang telah ‘menua’.
Saya jadi ingat ketika saya bercengkerama dengan si Bapak. Ia selalu menyelipkan cerita tentang kisahnya ketika menjadi marinir. Dan itu memang salah satu kebanggaannya.

Saya jadi teringat dengan si Ibu, yang sangat suka menceritakan masa-masa pahitnya membiayai sekolah dan kuliahnya dengan berjualan rokok di pinggir jalan. Masa penuh perjuangan yang ia lakukan agar bisa menjadi seperti sekarang. Karenanya ia sangat menghargai profesi mengajarnya, yang memang tak ia dapatkan dengan mudah.

Saya jadi teringat si kakek, yang bangga karena pernah mewakili karisidenan Blitar menjadi satu-satunya putra daerah yang diundang Pak Karno ke istana negara. Pengabdiannya menjadi pejuang muda walau ketika tua tak (cukup) mendapat penghargaan layak dari negara. Tapi ia selalu bahagia dengan kisahnya.

Saya jadi teringat si ini, si itu, atau si itu. Mereka-mereka yang menua dan memiliki kebanggaan hidup dengan masa-masa muda dan matangnya.

Saya jadi teringat pula dengan mereka yang pernah terkenal, menua lalu membiografikan perjalanan-perjalanannya.

Bahwa ketika tua, muda dan dewasa adalah saat-saat yang akan diingat ketika menua.

Bahwa ketika tua, hidup yang lalu adalah sangat berharga. Sangat-sangat berharga. Segala isinya adalah kebanggaan. Ketika usia telah renta, ketika waktu berlalu dan generasi demi generasi terlahir menggantikan yang dulunya muda, APALAGI YANG MEMBANGGAKAN SELAIN HAL BERHARGA YANG PERNAH DILAKUKAN KETIKA MUDA?

Dan saya? Kita? Semoga bisa memiliki kenangan yang juga ‘membanggakan’ bagi generasi kita. (gn)

No comments:

Post a Comment