16.3.11

Baby Wanted

Gambar dipinjam dari sini
Ketakutan itu semakin mengkanker, tepat pada tahun ketiga pernikahan kami. Entah mendosa apa yang pernah kami lakukan sebelumnya, hingga keberadaan seorang janin belum juga mampu tumbuh di dalam rahimku. Padahal semua sudah sangat-sangat menunggu. Jangankan mereka, kami-lah yang sangat-sangat-sangat menunggu. Lebih menunggu dari mereka yang dengan gampang berucap itu, itu dan itu. Kami mendamba, sangat mendamba. Toh pasangan mana yang tidak berharap memiliki manusia mungil hasil pernikahan mereka? Jadi aku beritahu sekali lagi, kami sangat mendamba. Jadi tak perlulah kalian dengan gampang berucap itu, itu dan itu! Memangnya kami mesin yang kalau dioperasikan dengan gampang mampu mencetak hasil? Kami manusia tahuuuu...!!!


..................................................................

"Ma...," aku menghempaskan diriku di kursi empuk yang ada di depan kolam renang dan bergelanyut mesra pada bahu mama yang sedang asyik merajut.

"Hmm?" Mama hanya melirikku sebentar, melepaskan gandengan tanganku lalu menekuni rajutannya kembali.

"I ih mama...," aku menaruh kedua tanganku depan dada, menghela nafas, sedikit menunjukkan bahwa aku ngambek.

"Apa sihh," mama menengokku, lagi-lagi cuma sebentar lalu dua detik kemudian asyik dengan rajutannya kembali.

Aku menarik nafas pelan, lalu menyenderkan kepalaku pada bahu mama.

"Aku dan mas Bram uda periksa ma...," aku mulai curhat.

"Terusss?" mama masih saja asyik memainkan tangannya membuat simpul-simpul rajutan.

"Hasilnya sih.., sehat-sehat aja ma..!" aku berkata dengan memasang muka ditekuk cemberut, tapi mama tidak memperhatikanku. Aku mulai mengangkat kepalaku, tidak lagi bersandar di bahu mama. Berganti, aku menendang-nendang angin di depan kakiku, sambil masih duduk di samping mama, berusaha mencari perhatian mama.

Lima menit, sepuluh menit, aku masih menunggu reaksi mama. Hingga 20 menit pun berlalu, kulihat mama sudah hampir menyelesaikan lengan sweater rajutannya.

Aku berdiri dari duduk, bergegas meninggalkan mama mertua yang sama sekali tidak menggubrisku. Kini, 2 langkah lagi aku akan masuk ke pintu rumah hingga aku dengar sebuah suara, "Rosss....," aku menoleh. Ya itu suara mama.

"Pokoknya lebaran ini sudah harus ada cucuku di perut kamu. Kalau tidak...," mama menghentikan suaranya.

Aku melangkah masuk, tak menunggu ucapan mama selanjutnya. Bukan tak penasaran, tapi karena aku sudah tahu lanjutannya. Ya, mama sudah berkali-kali mengatakannya. Aku pun sudah berkali-kali mengungkapkan isi hatiku. Namun rasanya, percuma mengharap pengertian lebih dari mama.

..................................................................

Mas Bram berusaha menenangkan aku yang sedang menangis tersedu-sedu di atas ranjang. Keadaan ini memang sulit bagi kami berdua. Bulan depan sudah masuk awal puasa. Dan tadi, ketika sedang makan malam mama kembali mensomasi dan menteror keinginannya untuk mendapat cucu dari putra satu-satunya. Kali ini lebih pedas, lebih menyakitkan dan jujur aku sangat sakit, hatiku teramat sakit.

Aku akhirnya tertidur di atas pangkuan mas Bram, entahlah sepertinya sudah 2 jam-an aku menangis. Sedari aku menangis, mas Bam berusaha (lagi, lagi, dan lagi) meyakinkanku bahwa ia tak akan menuruti keinginan gila mamanya yang akan menjodohkan dengan wanita yang diminta mamanya untuk jadi istri kedua. (gn)

No comments:

Post a Comment